Kerusakan hutan di
Aceh masih terjadi selama 3 tahun terakhir. Luas tutupan hutan terus menyusut,
meskipun angkanya stabil, tetapi angka bencana meningkat. Pembalakan liar dan
alih fungsi hutan menjadi pemicu utama kerusakan hutan di Tanah Rencong.
Berdasarkan data dari
Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), luas tutupan hutan di Aceh yang
tersisa sekarang pada 2019 seluas 2.989.212 haktar. Setiap tahunnya terus
mengalami penyusutan, meskipun setiap tahunnya laju kerusakan mengalami stabil. Namun
kerusakan hutan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Aceh sekarang untuk
terus menekan angka penghancuran lingkungan.
Luas tutupan hutan
pada 2017 lalu masih mencapai seluas 3.019.432 hektar, kemudian pada 2018 lalu
kembali menyusut menjadi 3.004.352 hektar. Penyusutannya pada 2019 ini terjadi
41 hektar terjadi setiap harinya. Baik itu ada pembukaan lahan baru, perambahan
hutan maupun pembukaan pertambangan tanpa izin.
Laju hilangnya
tutupan hutan di Serambi Makah setiap bulannya selama 5 tahun ini mengalami
penurunan atau relatif stabil kehilangan tutupan hutan. Pada 2015 lalu
kerusakan hutan seluas 21.056 hektar atau setiap bulannya hutan rusak seluas
1.755 hektar.
Sedangkan pada 2016
lalu hutan rusak seluas 21.060 atau setiap bulannya rusak mencapai 1.755
hektar. Pada 2017 angka kerusakan mulai menurun hanya 17.820 hektar, pada 2018
kembali turun seluas 15.071 hektar. Kendari data kerusakan 2019 mengalami
sedikit kenaikan seluas 15.140 hektar.
“Angka itu kurang
lebih seluas 2,5 kali lipat luas kota Banda Aceh, seluas 14 ribu kali lapangan
bola, dan diperkirakan 41 hektar hutan hilang di Aceh per harinya pada tahun
2019,” kata GIS Manager Yayasan Hutan (HAkA), Agung Dwinurcahya, Kamis (30/1)
di Banda Aceh.
Kata Agung, data ini
diperoleh menggunakan Citra Satelit Lansat 8, Sentil 2, Planet dan Google
Earth. Hasil kerusakan masih terus terjadi setiap bulannya akibat pembalakan
liar dan alih fungsi hutan.
Kabupaten Aceh Tengah
penyumbang terbesar terjadi penyusutan tutupan hutan sejak 2018 mencapai 1.924
hektar. Pada 2019 Aceh Tengah masih menduduki peringkat pertama terjadi
kerusakan hutan mencapai 2.416 hektar. Disusul peringkat kedua Kabupaten Aceh
Utara (1.815 ha) dan Aceh Timur (1.547 Ha).
Secara umum, kata
Agung, sekitar 60 persen hilangnya tutupan hutan yang terjadi di Kawasan Hutan,
berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015 maupun SK/MenLHK No. 580/Men-LHK
II/2018), dan 40 persen lainnya terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL).
Kondisi yang sama
juga terjadi dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh mengalami kerusakan. Meskipun
pada 2019 mengalami sedikit penurunan kerusakan di sana. Angka kerusakan pada
tahun 2018 adalah sebesar 5.685 Ha, mengalami penurunan pada 2019 sebesar 5.395
ha, menurun 290 ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Dalam 5 tahun terakhir Yayasan HAkA memantau
tutupan hutan KEL via citra satelit, tahun 2019 adalah tahun terendah untuk
laju deforestasi KEL,” sebut Agung.
Sementara itu Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul
Irfan menjelaskan, dampak dari berkurangnya tutupan hutan meningkatnya angka
bencana alam di Aceh. Seperti banjir bandang, longsor dan kekeringan.
Kejadian bencana pada 2019 cenderung meningkat pesat. Angka bencana
banjir dan longsor meningkat 87 kasus, menjadi 121 kasus dan kasus kekeringan
meningkat 4 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2019.
Banjir dan longsor terjadi di 22 Kabupaten dan
kekeringan terjadi di 8 kabupaten. Kecamatan yang sering terjadi banjir dan
longsor adalah Woyla Timur dan Badar. Sedangkan Darul Imarah dan Lhoknga di
Kabupaten Aceh Besar adalah kecamatan yang paling sering mengalami kekeringan.
“Walaupun angka kehilangan tutupan hutan relatif
stabil namun dampak bencana alam yang dialami relatif meningkat pada tahun 2019
dibandingkan tahun 2018,” ungkapnya.
Stabilnya angka kehilangan tutupan hutan di Aceh,
sebutnya, menjadi preseden yang baik. Namun, luas tutupan hutan Aceh terus
berkurang dan ini pertama sekali dalam sejarah luas tutupan hutan Aceh menjadi
di bawah 3 juta hektar.
“Upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan
di Aceh harus ditingkatkan agar hutan Aceh tetap bisa menjadi sumber kehidupan
untuk masyarakat Aceh,” tutup Badrul Irfan.
Comments
Post a Comment