“Kayu-kayu
bakar terbaik.” Sepenggal kalimat itu mengingatkan ku 16 tahun silam saat aku
mengikuti pendidikan dasar politik – yang biasa disebut Dikpol oleh kader
organisasi progresif masa itu yaitu Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR).
Rasanya
masih segar dalam ingatan ku saat duduk dalam sebuah ruang di Jalan P Nyak
Makam, Lampineung, Banda Aceh kantor SMUR era tahun 1999, saat saya pertama
kali mengenal organisasi berlambang bintang kuning berlatarkan bendera warna
merah.
Saat
itu memang menjadi satu-satu organisasi mahasiswa di luar kampus yang memiliki
kantor yang mewah dan besar. Meskipun kadang kala di dalam kantor berantakan,
maklum tidak ada asisten kantor yang membersihkannya.
Kantor
itu pun diisukan “berpenghuni” alias hantu menurut cerita-cerita yang pernah
tinggal di rumah yang sudah dirobohkan dan dibangun sebuah cafe saat ini.
Memang
kerap anggota SMUR kala itu dihantui oleh hantu yang bergentayangan dalam
kantor tersebut. Tetapi tidak ada satu pun anggota organisasi progresif ini
takut. Maklum, kalau ada yang takut, langsung diledekin “apa juga belajar MDH
(Materialisme Dialektika Historis),” kok masih takut dengan hantu.
Tapi
entah benar atau tidak, kalau sudah belajar MDH tidak boleh percaya hantu atau
mahkluk halus! Namun kenyataannya kala itu banyak anggota organisasi yang
mengalami keserupan dan bahkan ada satu lantai atas kalau sudah malam tidak ada
yang berani masuk dalam ruang itu.
Bahkan
ada juga bila sudah jenuh dengan disksui atau baru saja selesai Dikpol. Untuk mengisi
waktu luang, anak-anak (sebutan dalam anggota oranisasi) duduk berkumpul, lalu
lampu dimatikan dan hanya penerang satu lilin diletakkan di tengah-tengah.
Saya
masih ingat betul kala itu, kebetulan saat itu saya juga ikut dalam lingkaran
mengelilingi lilin itu. Lalu Mahmudal, sekarang sudah almarhum karena penyakit
liver yang dideritanya, memimpin untuk memanggil jelangkung.
“Jelangkung,
jelangkung, kau datang ku undang, kau pulang tak diantar,” ucap Mahmudal kala
itu.
Beberapa
kali Alm Mahmudal mengucapkan kalimat yang sama dan akhirnya tangan Mahmudal
dan rekannya lagi, tapi saya tidak ingat tangan seorang lagi yang memegang
polpen, menulis bahwa makhluk halus yang dipanggil itu sudah datang.
Begitulah
setiap saat selepas berdiskusi atau berdebat lepas menghilangkan penat dengan
hal-hal seperti itu. Meskipun diskusi dan membaca yang diutamakan saat berada
dalam kantor SMUR kala itu.
Bila
mendengar nama SMUR, ditandai dengan pakaian yang lusuh. Menggunakan kaos
oblong yang sudah memudar, celana koyak di lutut, dekil, itu menjadi ciri khas
kader SMUR kala itu.
Tapi
jangan anggap mereka ini berandalan, penjahat atau orang-orang yang tidak
berpendidikan. Soal debat, adu argumentasi diakui seluruh kader SMUR era tahun
1999 jagonya. Karena memang diajarkan untuk pinter berdebat mempertahankan
argumentasi tidak hanya beretorika,
tetapi memiliki dasar pemikiran dan referensi yang lengkap.
Bagi
saya SMUR memang bisa dikatakan menjadi sekolah politik. Pedidikan yang saya
terima di SMUR tidak pernah saya dapatkan di tempat-tempat lain.
Di
SMUR memang selalu diajarkan untuk berpikir kritis. Berani mengatakan yang
benar, lantang melawan kezaliman. Selalu berpihak kepada orang miskin, atau
yang sering disebutkan harus selalu berada di tengah-tengah kaum proletar.
Bahkan
diajarkan, sebagai kader SMUR harus siap “bunuh diri kelas” alias mampu
merasakan bagaimana pahitnya derita orang-orang miskin yang tidak memiliki alat
produksi, hanya mengandalkan tenaga mereka untuk mencari nafkah.
“Lawan,
lawan dan lawan.” Kalimat itu selalu didengungkan setiap saat. Bila suara
rakyat dibungkam, ini ada sesuatu yang tidak beres, hanya ada satu kata, lawan
dan lawan.
Demikian
juga selalu ditanamkan bahwa perubahan itu tidak pernah datang mengetuk rumah
Anda, akan tetapi perubahan itu harus dirampas, ya dirampas dari tangan-tangan
kotor pejabat yang korup, pejabat yang berlumuran darah, karena telah membunuh
banyak rakyat Aceh untuk mempertahankan kapitalnya yang ada di Aceh.
Selalu
ditanam, pemerintah tidak ubahnya seperti Belanda yang menjajah bangsa ini
dulu. Dulu bangsa lain yang menjajah Indonesia, kina bangsa sendiri menjajah
bangsanya sendiri. Sehingga hanya ada satu kata lawan, lawan dan lawan.
Semua
mengakui keberanian dan kecerdasan kader-kader SMUR kala itu. Hal ini seperti
beberapa kali turun aksi menentang
pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) dan juga Darurat Militer (DM).
Bahkan
ada kader SMUR yang tewas, ada yang tidak diketahui kuburannya sampai sekarang.
Saat Aceh dalam DM, banyak kader SMUR harus dievakuasi ke luar Aceh hingga ke
luar negeri.
Keberanian
inilah kemudian anggota SMUR disegani baik kawan maupun lawan. Berani menentang
setiap kezaliman dan penindasan yang dilakukan oleh siapapun.
****
Untuk
menjadi anggota SMUR era tahun 1999 bukan perkara mudah. Butuh serangkaian
proses pengujian yang dilakukan oleh divisi organisasi SMUR, baik tingkat Komite Pimpinan Pusat (KPP) maupun tingkat Komiter Dewan Kampus (KDK).
Sebelum
resmi menjadi anggota SMUR, harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan dasar selama
7 hari 7 malam. Materi pertama sekali diajarkan adalam MDH. MDH adalah materi
filsafat, metode berpikir yang selama ini keliru dan diluruskan kembali.
Metode
berpikir inilah pertama sekali diajarkan lebih kurang durasi waktunya 3 sampai
4 jam. Saat mengikuti materi MDH, calon anggota diajak untuk berdiskusi dan
berdebat.
Selesai
Dikpol, biasanya anggora baru yang sudah disumpah langsung diterjunkan untuk aksi.
Layaknya seperti tentara atau polisi, selesai pendidikan langsung diajak
bertempur di Aceh. Karena Aceh saat itu masih perang antara GAM dengan
Pemerintah Indonesia.
Setiap
ada kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Kader SMUR dulu sangat peka
dan langsung melakukan protes. Seperti kenaikan harga BBM dan
kebijakan-kebijakan lainnya.
Termasuk
SMUR telah jauh hari mengkampanyekan pendidikan gratis, kesehatan gratis. Itu memang
sudah menjadi program kerja SMUR sejak pertama berdiri tahun 1998 agar semua
rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis.
Namun
kini, dimana riwayatmu SMUR. Seakan-akan SMUR sekarang ibarat harimau ompong,
sehingga hanya wajahnya saja yang sangar, tetapi tidak bisa berkutik dan tidak
bisa memangsa.
Beberapa
kali naik BBM, banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Tetapi seingat
saya hanya ada sekali melakukan aksi di Simpang Lima Banda Aceh. Kebetulan saya
ada meliputnya, tetapi lagi-lagi hanya sekali.
Apakah
SMUR masih ada? Atau sudah tiada dimakan usia? Atau tergurus gelombang tsunami
kekuasaan, hingga terserat ke dalam lembah hitam yang membuat mata gelap tak
tau lagi lorong keluar.
Bila
benar, dimana sekarang “Kayu-kayu bakar” itu berada, agar dibakar untuk
menerangi lorong sempit itu yang sudah gelap. Agar kegelapan itu segera berakhir
dan kembali bersinar dan berjaya kembali.
Bersambung...!!!
Comments
Post a Comment