Dum, dum, dum suara rapai menggema saat dipukul di atas panggung utama even Aceh International Rapai Festival 2016 yang berlangsung di Taman Sulthanah Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Seorang syech berdiri di depan penabuh rapai memandu sambil menggerakkan tangan dari atas ke bawah.
Semakin kencang tangan syech digerakkan, semakin cepat pula tabuh rapai dipukul, hingga suara rapai semakin kencang, penonton pun menjerit histeris hingga syech berhenti menggerakkan tangan. Penabuh rapai pun serentak berhenti, senyap, hening tanpa suara dan kemudian suara Seurene Kale pun melengking.
Rapai merupakan alat musik tradisional Aceh yang ditabuh menggunakan tangan kosong, tidak menggunakan stik. Rapai biasanya berperan untuk mengatur ritme, tempo, gemerincing saat lantunan syair-syair bernuansa Islami sedang dinyanyikan.
Suara rapai juga membuat suasana lebih hidup, semarak dan bisa menumbuhkan semangat penonton yang sedang menyaksikan suatu pertunjukan. Rapai ini juga digunakan hampir semua seni tarik suara tradisional di Aceh.
Bahkan penyanyi etnis di Aceh pun menggunakan rapai dikolaborasikan dengan alat musik modern seperti drum, gitar dan sejumlah alat musik lainnya. Alat musik ini biasanya dimainkan oleh 8 sampai 12 orang.
Grup ini di Aceh dikenal dengan sebutan Awak Rapai (Kelompok Rapai). Biasanya rapai disandingkan dengan instrumen Seurene Kale yang memiliki suara melengking atau Buloh Merindu, sebuah alat musik tiup hampir serupa dengan seruling.
Permainan rapai ini tidak menggunakan pengeras suara. Namun suara yang keluar saat ditabuh secara serentak bisa terdengar 5 hingga 10 Km bila berada di perkampungan yang hening tanpa ada kebisingan dengan lainnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Reza Fahlevi mengatakan, sejarah rapai ini tidak terlepas dari peradaban masuknya Islam di Aceh. Karena rapai ini diperkenalkan oleh seorang ulama besar dari Baghdad yang menyebarkan Islam ke Aceh.
"Rapai ini erat kaitannya dengan penyebaran Islam di tanah Aceh pada abad ke 11 dahulu kala," kata Reza Fahlevi.
Menurutnya, dalam beberapa catatan sejarah, rapai yang kemudian menjadi alat musik tradisional Aceh diperkenalkan oleh Syech Rapi atau ada juga yang menyebutkannya dengan Syech Rifai.
Pertama kali dimainkan alat musik di Ibukota Kerajaan Aceh pada abad ke-11 yaitu di Banda Khalifah. Banda Khalifah itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan Gampong Pande, Kota Banda Aceh. Di Gampong Pande ini juga ada banyak peninggalan-peninggalan masa kerajaan dulu yang masih tersimpan dan terawat dengan baik hingga sekarang.
"Baru dalam perjalanan rapai itu menjadi beberapa jenis kesenian tradisional Aceh dan beragam bentuknya. Ada 6 jenis rapai kemudian dikenal di Aceh hingga sekarang," jelasnya.
Jenis-jenis rapai itu adalah Rapai Daboih, artinya sejenis pertunjukan ketangkasan mempertontonkan kesaktian seseorang kebal dari benda tajam. Dulunya daboih (debus) ini biasanya dimainkan oleh seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal, ahli makrifat besi.
Lalu ada Rapai Gerimpheng dimainkan secara duduk. Seni ini dimulai dengan memberikan salam, lalu menjulurkan tangan ke depan dan menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan secara serentak sambil memukul rapai dan menyanyikan ratoih (lagu).
Ada juga Rapai Pulot juga dimulai dari salam dan dilanjutkan dengan penampilan akrobatik dan keahlian membentuk lingkaran bersambung. Baru kemudian ada Rapai Pase yang terdapat di Aceh Utara dengan formasi pemukul rapai sebanyak 30 orang.
Ada juga Rapai Anak, rapai ukuran sedikit lebih kecil berfungsi untuk mengadakan tingkahan, karena suara lebih nyaring an mendenting. Terakhir adalah Rapai Kisah/Hajat, mengisahkan atau hajat menginginkan seperti ingin memiliki rumah sendiri. Lalu syech bersama penabuh rapai bersama-sama menyanyikan syair-syair mengisahkan itu.
"Semua rapai ini juga lebih sering ditampilan pada upacara adat, pernikahan, sunatan, mauled dan upacara lainnya dalam Islam. Bahkan sekarang hampir semua acara seremonial pemerintah di Aceh juga diiringi oleh rapai," tegas Reza. [merdeka]
Semakin kencang tangan syech digerakkan, semakin cepat pula tabuh rapai dipukul, hingga suara rapai semakin kencang, penonton pun menjerit histeris hingga syech berhenti menggerakkan tangan. Penabuh rapai pun serentak berhenti, senyap, hening tanpa suara dan kemudian suara Seurene Kale pun melengking.
Rapai merupakan alat musik tradisional Aceh yang ditabuh menggunakan tangan kosong, tidak menggunakan stik. Rapai biasanya berperan untuk mengatur ritme, tempo, gemerincing saat lantunan syair-syair bernuansa Islami sedang dinyanyikan.
Suara rapai juga membuat suasana lebih hidup, semarak dan bisa menumbuhkan semangat penonton yang sedang menyaksikan suatu pertunjukan. Rapai ini juga digunakan hampir semua seni tarik suara tradisional di Aceh.
Bahkan penyanyi etnis di Aceh pun menggunakan rapai dikolaborasikan dengan alat musik modern seperti drum, gitar dan sejumlah alat musik lainnya. Alat musik ini biasanya dimainkan oleh 8 sampai 12 orang.
Grup ini di Aceh dikenal dengan sebutan Awak Rapai (Kelompok Rapai). Biasanya rapai disandingkan dengan instrumen Seurene Kale yang memiliki suara melengking atau Buloh Merindu, sebuah alat musik tiup hampir serupa dengan seruling.
Permainan rapai ini tidak menggunakan pengeras suara. Namun suara yang keluar saat ditabuh secara serentak bisa terdengar 5 hingga 10 Km bila berada di perkampungan yang hening tanpa ada kebisingan dengan lainnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Reza Fahlevi mengatakan, sejarah rapai ini tidak terlepas dari peradaban masuknya Islam di Aceh. Karena rapai ini diperkenalkan oleh seorang ulama besar dari Baghdad yang menyebarkan Islam ke Aceh.
"Rapai ini erat kaitannya dengan penyebaran Islam di tanah Aceh pada abad ke 11 dahulu kala," kata Reza Fahlevi.
Menurutnya, dalam beberapa catatan sejarah, rapai yang kemudian menjadi alat musik tradisional Aceh diperkenalkan oleh Syech Rapi atau ada juga yang menyebutkannya dengan Syech Rifai.
Pertama kali dimainkan alat musik di Ibukota Kerajaan Aceh pada abad ke-11 yaitu di Banda Khalifah. Banda Khalifah itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan Gampong Pande, Kota Banda Aceh. Di Gampong Pande ini juga ada banyak peninggalan-peninggalan masa kerajaan dulu yang masih tersimpan dan terawat dengan baik hingga sekarang.
"Baru dalam perjalanan rapai itu menjadi beberapa jenis kesenian tradisional Aceh dan beragam bentuknya. Ada 6 jenis rapai kemudian dikenal di Aceh hingga sekarang," jelasnya.
Jenis-jenis rapai itu adalah Rapai Daboih, artinya sejenis pertunjukan ketangkasan mempertontonkan kesaktian seseorang kebal dari benda tajam. Dulunya daboih (debus) ini biasanya dimainkan oleh seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal, ahli makrifat besi.
Lalu ada Rapai Gerimpheng dimainkan secara duduk. Seni ini dimulai dengan memberikan salam, lalu menjulurkan tangan ke depan dan menggoyangkan badan ke kiri dan ke kanan secara serentak sambil memukul rapai dan menyanyikan ratoih (lagu).
Ada juga Rapai Pulot juga dimulai dari salam dan dilanjutkan dengan penampilan akrobatik dan keahlian membentuk lingkaran bersambung. Baru kemudian ada Rapai Pase yang terdapat di Aceh Utara dengan formasi pemukul rapai sebanyak 30 orang.
Ada juga Rapai Anak, rapai ukuran sedikit lebih kecil berfungsi untuk mengadakan tingkahan, karena suara lebih nyaring an mendenting. Terakhir adalah Rapai Kisah/Hajat, mengisahkan atau hajat menginginkan seperti ingin memiliki rumah sendiri. Lalu syech bersama penabuh rapai bersama-sama menyanyikan syair-syair mengisahkan itu.
"Semua rapai ini juga lebih sering ditampilan pada upacara adat, pernikahan, sunatan, mauled dan upacara lainnya dalam Islam. Bahkan sekarang hampir semua acara seremonial pemerintah di Aceh juga diiringi oleh rapai," tegas Reza. [merdeka]
Comments
Post a Comment