Peudame Ureung, Tradisi Mendamaikan Sengketa di Aceh

Dua wanita berseteru. Istri muda tiba-tiba datang ke rumah istri pertama melabraknya. Adu mulut pun tak dapat dihindari. Keduanya saling mendorong hingga terjatuh. Istri muda bahkan sempat menampar dan merobek baju istri tua.

Keributan itu pun terdengar oleh tetangga. Dua pemuda datang meleraikan pertengkaran itu. Istri tua menangis tersedu-sedu, berniat melaporkan kasus ini kepada Kepolisian. Ia ingin menuntut istri muda itu secara pidana, karena telah membuat keonaran dalam rumah tangga.

Dua pemuda itu lalu menasehati. Persoalan ini jangan dulu dilaporkan langsung ke pihak Kepolisian. Akan tetapi berkoordinasi terlebih dahulu dengan Babinkamtibmas yang ada di gampong ini. Setelah Babinkamtibmas tiba, disarankan agar diselesaikan terlebih dahulu di tingkat kampung bersama masyarakat adat.

Istri tua dari Hafiz pun datang ke kantor kepala desa untuk melaporkan peristiwa itu. Setelah mendapat laporan, pihak perangkat desa lalu membuatlah peradilan adat di gampong dengan menghadirkan seluruh pemangku adat gampong guna mendamaikan konflik keluarga ini.

Setelah melalui peradilan adat gampong. Ternyata Hafiz menikahi istri muda yang berstatus mahasiswi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Hafiz menikahkan istri muda tanpa diketahui oleh wali. Sehingga pemangku adat meminta untuk mengakhiri hubungan tak sah ini.

Mereka pun berdamai. Namun Hafiz dibebankan membayar uang adat kepada mantan istri muda itu sebesar Rp 4 juta. Mereka pun berdamai, isak tangis pecah dan saling berangkulan meminta maaf.

Begitulah suasana lomba Peudame Ureng (mendamaikan orang yang berkonflik) yang merupakan salah satu cabang budaya dan adat yang diperlombakan pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII yang berlangsung di Museum Tsunami, Banda Aceh.

Hukum adat Peudame Ureung di tingkat gampong merupakan tradisi yang sudah ada sejak kesultanan Aceh dulu. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, termasuk masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda, tradisi ini sudah diterapkan.

Setiap ada sengketa, seperti keribuatan dalam keluarga, konflik pembagian harta, tapal batas, perkelahian dan sejumlah permasalah tindak pidana ringan (Tipiring), bisa diselesaikan di tingkat gampong, tanpa diajukan kepada pengadilan melalui proses hukum positif di Indonesia sesuai dengan Qanun Nomor 8 Tahun 2009 tentang Hukum Adat.

Qanun ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Gubernur Aceh (Pergub) Nomor 60 Tahun 2013 tentang tata penyelesaian perselisihan sengketa di gampong. Keberadaan qanun tersebut saat ini cukup kuat, karena sudah memiliki petunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak).

Ketua Panitia Lomba Peudame Ureung, T Raja Zulkarnain alias Raja Nagan mengatakan, lomba cara mendamaikan orang ini merupakan salah satu budaya dan adat yang dimiliki masyarakat Aceh sejak masa lalu.

Di lomba ini, para peserta dari masing-masing daerah diminta untuk menunjukkan bagaimana cara mendamaikan kedua kubu yang berseteru dengan menggunakan adat daerah. Misalnya permasalahan pernikahan, sengketa tanah, perkelahian pemuda, dan lain sebagainya.

Raja Nagan menjelaskan, penyelesaian masalah dengan cara adat terasa lebih damai dibandingkan dengan hukum pidana atau penjara. "Sebab kalau orang lepas dari penjara, bisa timbul dendam. Sementara kalau yang di kampung begitu makan bersama (kenduri peudame ureng) sudah saling bersilaturahmi, nah ini perlu dipertahankan," jelasnya.

Kepala Bidang Hukum Adat Majelis Adat Aceh (MAA), Abdurrahman mengatakan, ini merupakan budaya dalam ruang lingkup hukum adat.

"Keseharian sudah dikenal dengan peradilan adat. Cuma dalam konteks PKA disebut Peudame Ureung, intinya sama. Kalau di MAA dikenal istilah peradilan adat," ungkap Abdurrahman.

Peradilan adat ini sebenarnya sudah ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Setiap ada sengketa, konflik di tingkat gampong. Pemangku adat seperti Tuha Peut, Tuha Lapan (sebutan pemangku adat) dan Geuchik (kepala desa) melakukan penyelesaian dengan peradilan adat.

Namun semasa Aceh berkonflik selama 30 tahun lebih, peradilan adat ini kemudian tenggelam. Banyak pemangku adat tidak berani melakukan peradilan adat ini, karena situasi keamanan saat itu sedang tidak menentu.

Usai penandatangan MoU Helsinky di Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, Serambi Mekkah mulai berdamai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Hukum adat ini kemudian mulai direpitalisasi kembali model penyelesaian sengketa seperti ini.

Untuk memperkuat peradilan adat ini, pemerintah memperkuat melalui regulasi, yaitu lahirnya qanun Nomor 8 Tahun 2009 tentang Hukum Adat. Peradilan adat yang sempat hilang kemudian diberlakukan kembali. Lalu hukum adat ini diperkuat dengan Pergub Nomor 60 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Sengketa di Gampong. Dengan adanya Pergub, maka sudah diatur secara mendatail tata cara pelaksanaannya.

"Ini dilakukan sebenarnya untuk menjaga ketertiban, keamanan, keharmonisan hidup masyarakat di tingkat gampong," ungkapnya.

Menurut Dosen Hukum Adat Universitas Syiah Kuala (Unyiah) ini, perkembangan satu dekade ini, sekitar 15 tahun terakhir usai dikeluarkan regulasi oleh pemerintah. Hukum adat sudah mulai muncul ke permukaan dan mulai diterapkan di gampong-gompong sebagai model penyelesaian perselisihan melalui perangkat adat.

Meskipun ia mengaku hukum adat ini merupakan peninggalan masa Kerajaan Aceh Darussalam tempo dulu. Pada dasarnya, perselisihan di tingkat gampong banyak yang bisa diselesaikan, namun banyak orang yang belum memahaminya.

"Sekarang sudah menjadi instrumen adat dan itu dikuatkan oleh regulasi Aceh menjadi pranata yang kemudian bangkit kembali dan dikembangkan," ungkapnya.

Dalam kasus ada muncul fenomena memandikan orang dengan air comberan yang dianggap bersalah oleh masyarakat. Abdurrahman menyebutkan itu bukanlah hukum adat. Peradilan hukum adat memiliki proses yang ditangani oleh pemangku adat, bukan asal memandikan air comberan.

"Itu bukan hukum adat. Kalau memang mereka dianggap bersalah, maka diserahkan penyelesaiannya pada pemangku adat," jelasnya.

Kendala yang dihadapi

Penerapan hukum adat ini bukan tidak memiliki kendala. Ada sejumlah benturan-benturan yang dihadapi oleh MAA. Salah satunya adalah terjadi benturan antara peradilan adat dengan penegak hukum dalam aspek pidana, yaitu kepolisian.

Kemudian untuk harmonisasi antara hukum adat dengan aspek pidana. Pemerintah Aceh melakukan terobosan dengan melahirkan Qanun dan Pergub. Lalu agar ada kesepahaman dibuatlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, MAA dengan pihak kepolisian.

"Ini suatu perjuangan yang luar biasa untuk memperjuangkan itu," tukas Abdurahman.

Abdurrahman menyebutkan, SKB itu yang kemudian disepakati semua pihak, MAA harus melakukan pembinaan kepada pemangku adat. Kepolisian harus menghormati proses hukum adat ini. Perselisihan yang diatur dalam qanun, bila dilaporkan ke tingkat kepolisian agar dikembalikan terlebih dahulu ke perangkat gampong.

"Tantangan awal itu kesepahaman dengan penegak hukum, kemudian ada pendekatan-pendekatan dan ini bisa cair, mereka di tingkat Polsek sudah sangat memahami ini," tukasnya.

Adapun kendala lain yang dihadapi saat ini adalah kesiapan perangkat adat di tingkat gampong, teruma Sumber Daya Manusia (SDM). Saat ini menurut Abdurahman, pemangku adat banyak muda-muda yang minim pengalaman.

"Tapi MAA terus meningkatkan SDM mereka," jelasnya.

Soal anggaran juga menjadi kendala sebelumnya. Meskipun saat ini, sebutnya, sudah ada Alokasi Dana Gampong (ADG) bisa diplotkan sedikit untuk Peradilan Adat di tingkat gampong.

"Meskipun ini belum maksimal, tetapi setidaknya sudah bisa tertalangi," ungkapnya.

Penyelesaian tidak terdumentasikan

Usai lahirnya regulasi hukum adat di Aceh, banyak kasus-kasus perselisahan dan sengketa di tingkat gampong sudah bisa diselesaikan tanpa harus ke ranah hukum positif. Penyelesaian-penyelesaian melalui peradilan adat, sudah menjadi model saat ini dan dianggap cukup efektif.

"Banyak kasus yang bisa diselesaikan di tingkat gampong. Cuma ada yang terekam, ada yang tidak. Banyak kasus yang diselesaikan itu tidak dicatat. meskipun sekarang sudah mulai ada yang mencatat," lanjutnya.

Menurut Abdurahman, MAA ada beberapa dokumentasi hasil peradilan adat yang didokumentasikan. Namun lebih banyak hanya dokumen perjanjian setelah peradilan adat. Sedangkan proses peradilan adat tidak terdokumentasikan dengan baik.

"Ada sekedar hanya perjanjian. Meskipun kita MAA sedang mendorong agar peradilan adat itu terdokumentasikan," ungapnya.

Melalui momentum PKA VII inilah, sebutnya, MAA berharap model peradilan adat ini di tingkat gampong bisa lebih masif. Perselisihan di tingkat gampong bisa diselesaikan dengan baik, sehingga ketertiban dan keamanan di gampong terjamin. [merdeka]

Comments