Menelusuri Gampong Pande, Tempat Pertama Masuk Islam di Nusantara

Sinar matahari menyinari celah-celah pepohonan di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, titik nol Kota Banda Aceh. Lokasi ini menyimpan banyak situs dan makam para raja dan menjadi kawasan cikal bakal terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam.

Makam Tuan Dikandang menjadi saksi bisu kawasan yang pernah jaya terbentuknya peradaban Islam di Aceh pada abad ke 13. Tuan Dikandang dipercaya oleh warga setempat seorang ulama yang jujur dan sosok penting dalam sejarah berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam di Gampong Pande.

Pemukiman Gampong Pande setelah tsunami sudah tertata rapi dan bersih. Hampir semua warga sudah mulai sadar pentingnya situs sejarah yang tersimpan di kawasan itu.

Makam Tuan Dikandang misalnya, yang berada di tengah-tengah perkampungan sudah dipugar dan tertata rapi. Di sekelilingnya ada puluhan nisan lainnya yang masih berdiri kokoh. Nisan-nisan tersebut terukir kaligrafi yang dituliskan lafaz Alquran, seperti dua kalimat syahadat dan sejumlah ayat lainnya.

Masyarakat setempat percaya, Tuan Dikandang nama aslinya Mahmud Abi Abdullah Syech Abdur Rauf Baghdadi, merupakan sosok panutan warga setempat, dari dulu hingga sekarang. Tuan Dikandang dipercaya sebagai seorang ulama yang membawa ajaran agama Islam hingga terbentuknya peradaban Islam pada abad ke 13.

Tuan Dikandang merupakan putra dari Sultan Mahmud Syah Seljuq, seorang raja dari Baghdad. Raja ini berkuasa pada masa Bani Abbasiyah. Kemudian Tuan Dikandang melarikan diri ke Aceh bersama 500 orang pengikutnya. Dia melarikan ke Aceh saat Baghdad diserang oleh Kerajaan Mongol pada 1116 Masehi.

Warga setempat percaya, Tuan Dikandang sosok yang jujur, taat beribadah hingga diangkat menjadi penasihat Kerajaan Sultan Alaidin Johan Syah. Karena kejujurannya, hingga dia dijuluki sebagai Tuan Dikandang.

Sedikitnya ada lebih 1.000 makam berada di Gampong Pande. Hingga gampong ini dikenal dengan 1.001 nisan. Masa Kerajaan Aceh Darussalam, Gampong Pande merupakan pusat peradaban dan pusat kota kerajaan dulu. Paska tsunami melanda Aceh 13 tahun silam ada banyak situs dan makam telah rusak.

Nama Tuan Dikandang saat ini sudah disematkan menjadi nama masjid di Gampong Pande. Masjid tersebut dibangun hanya berkisar 300 meter dari makam. Setiap orang yang berkunjung ke sana, rata-rata singgah sebentar hanya sekedar untuk sembahyang sunat atau wajib.

Medio November 2013 lalu nama Gampong Pande melejit dan menjadi bahan perbincangan para ahli sejarah, arkeologi dan antropologi. Warga setempat menemukan ribuan koin emas di kuno di Muara Krueng (sungai) Doy. Hingga banyak para ahli melakukan penelitian dan menjadi bukti Gampong Pande menjadi pusat industri masa itu.

Diyakini koin emas kuno itu merupakan dirham atau mata uang Kerajaan Aceh Darussalam pada abad 16. Mulanya, koin emas itu tanpa disengaja ditemukan oleh seorang perempuan pencari tiram. Kemudian warga pun berbondong-bondong mencari yang dianggap oleh warga sebagai harta karun.

Tak hanya itu, Gampong Pande yang telah dijadikan gampong distinasi wisata sejarah banyak menyimpan artefak dan peninggalan sejarah. Seperti piring, cawan keramik, makam raja-raja, makam Putreo Ijo dan sejumlah peninggalan lainnya.

Menurut sejarawan dan Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Husaini Ibrahim, MA menyebutkan, dengan ada banyaknya temuan di Gampong Pande membuktikan kawasan tersebut gemilang pada masa lampau dan bukti sejarah keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam berada di Gampong Pande.

Di kawasan itu juga merupakan pusat industri kerajinan besi yang terkenal hingga ke berbagai pelosok dunia. Setiap dentingan suara besi dan percikan api dari gesekan benda keras pengrajin besi, menjadi pemantik ekonomi yang dikenal hingga ke Asia Tenggara masa itu.

Tak hanya persenjataan diproduksi oleh para ahli kerajinan besi, termasuk logam mulai, koin emas yang kemudian dijadikan alat tukar dan masa puncak kejayaannya saat Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) berkuasa. Baik industri persenjataan, perdagangan dan juga kekuatan militer terpusatkan di kawasan itu.

Banyaknya konsentrasi orang pandai di kawasan itu kemudian telah menjadi pusat industri. Apa lagi berhadapan langsung dengan aliran sungai Krueng Doy yang merupakan satu-satu jalur transportasi masa itu. Untuk mengekspor barang, saat itu hanya bisa dilakukan melalui jalur laut, sehingga tak heran seluruh pusat industri berada di pinggir sungai.

Berbagai kerajinan dan komoditas seperti cengkeh, lada dari Gampong Pande diekspor hingga ke Malaysia, Turki, Prancis bahkan Inggris. Kerajinan yang diekspor juga seperti batu nisan, kapur barus hingga rempah-rempah.

Gampong Pande merupakan kawasan khusus atau istimewa dibawah kekuasaan Sultan, kemudian dikenal juga dengan sebutan gampong Sultan yang tidak bisa diperintahkan oleh siapapun, kecuali para Sultan.

Ada daerah otonomi khusus di bawah perintah Sultan masa itu dan tidak boleh diperintah oleh siapapun. Daerah otsus itu berada di Gampong Raja, Gampong Pande, Gampong Jawa, Gampong Merduati dan Gampong Keudah.

Ini bermula saat Sultan Abdul Aziz Johan Syah (1203-1234) mendirikan Istana Kerajaan Aceh Darussalam di tepian Krueng (sungai) Aceh atau Kuala Naga, pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 M. Kemudian tanggal tersebut disematkan menjadi Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Banda Aceh.

"Gampong Pande itu gampong para sultan, kawasan khusus dan daerah istimewa," kata Husaini Ibrahim.

Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kota paling maju dan tersibuk dengan aktivitas ekonomi, baik ekspor maupun impor di Selat Malaka dan Asia Tenggara. Demikian juga imbas dari aktivitas ekonomi tersebut terjadi pertukaran budaya dan Islam juga berkembang pesat.

Berdasarkan beberapa fakta dan juga diperkuat dengan penemuan terbaru situs sejarah di bawah tanah sejauh 30 meter menggunakan alat Georadar, teknologi relatif masih baru dengan memanfaatkan gelombang elektromaknetik. Jadi gelombang itu kemudian dipancarkan ke dalam bumi untuk mendeteksi benda padat apa saja yang terdapat.

Telah mendapatkan sejumlah situs baru, berbentuk bangunan, logam keras di beberapa titik di Gampong Pande, sumbangan besar pembuktian sebagai data sejarah arkeologi keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam. Nantinya harus ditulis dengan menggunakan metodelogi sejarah, termasuk data dari Georadar tersebut.

Penulis buku Awal Masuknya Islam ke Aceh, Analisis Arkeologi dan Sumbangannya pada Nusantara ini menyebutkan, dengan adanya temuan-temuan baru, semakin memperkuat masuknya Islam pertama di Nusantara melalui Gampong Pande, bukan melalui Sumadera Pasai sebagaimana tercatat dalam sejarah saat ini.

Menurut Husaini Ibrahim, disebutkan melalui Samudera Pasai pertama kali masuk Islam di Nusantara karena ditemukan makam Malek As Saleh, sebagai raja pertama pada tahun 1297 masehi.

Sedangkan di Gampong Pande perubahan pusat kerjaan Lamuri sebelum Islam menjadi Islam itu terjadi pada tahun 1205 masehi dalam bulan Ramadan. Jauh lebih tua dibandingkan di Sumadera Pasai.

"Ini salah satu bukti dan kemudian ditemukan banyak batu nisan menjelaskan bukti-bukti tersebut menjadi titik awal masuk Islam di Nusantara yaitu di Gampong Pande," tegasnya.

Lamuri merupakan kerajaan terawal di Nusantara dan kemudian tumbuh kembang beberapa kerajaan lainnya, termasuk kerajaan Samudera Pasai. Artinya Lamuri jauh lebih dulu muncul dibanding beberapa kerajaan lainnya.

"Gampong Pande merupakan salah satu kerajaan tertua dan terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerjaan itu, mungkin karena proses bencana alam atau kerusakan lainnya karena peperangan," tegasnya.

Di Gampong Pande ini juga tumbuh asal muasal beberapa kerajaan pra Islam. Kemudan kerajaan-kerajaan masa itu melakukan islamisasi dalam jangka waktu yang cukup lama. "Oleh karena itu Aceh dan Aceh Besar merupakan kawasan Islam pertama di Nusantara," imbuhnya.

Ada tiga pusat kerajaan tempo dulu itu. Yaitu Indra Purwa di daerah Peukan Bada, Banda Aceh sekarang, lalu Indra Patra di kawasan Lamuri dan Inda Puri di Kabupaten Aceh Besar. Kemudian di kawasan ditemukannya situs baru di Gampong Pane itu, dikenal dengan adanya dua Dinasti. Pertama Dinasti Meukuta Alam dan Dinasti Darul Kamal.

Sedangkan konteks Kerajaan Aceh Darussalam, ketika Sultan Ali Mughayatsyah menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh Besar dan daerah-daerah lain, termasuk kerajaan Pasai, Pedir. Kerjaan-kerajaan kecil itu disatukan di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai sebuah federasi kerajaan. [merdeka]

Comments