Semerbak wangi rempah dari masakan daging tercium, bikin air liur menetes. Aroma khas itu berasal dari masakan Kuah Beulangong (Kuah Belanga) di Gampong Lamdom, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh.
Asap mengepul dari 12 belanga besar, berdiameter sekitar satu meter. Dua belas pekerja tampak sibuk mengaduk daging yang sudah dicampur bumbu. Aroma khas keluar menggelitik hidung. Api membara, sesekali pekerja menambah kayu bakar agar api tetap menyala.
Memasak Kuah Beulangong sudah dimulai selepas subuh, puluhan pekerja mulai bekerja mempersiapkan bahan untuk memasak Kuah Beulangong. Dua lembu besar disembelih, lalu bergotong-royong membersihkan dan memotong-memotong kecil. Sebagian lagi tampak sibuk meracik bumbu Kuah Beulangong yang kaya rempah-rempah.
Kemudian pekerja membawa daging yang sudah dicincang ke dalam belanga, lalu dicampur dan diaduk-aduk dalam belanga besar dan ditambah air. Sebelum daging empuk, ditambah terlebih dahulu potongan buah nangka, sebagian ada juga menambah buah pisang.
Selama proses memasak, pekerja tak beranjak di samping belanga. Saat sedang mendidih harus terus diaduk agar tidak berkerak di bawah. Pekerja sesekali harus mengusap matanya, perih karena asap terus mengepul, peluh membahasi baju dari pancaran hawa panas.
Memasak Kuah Beulangong sudah menjadi tradisi di Aceh Besar setiap ada hari-hari besar maupun kenduri lainnya. Masyarakat Aceh Besar percaya, Kuah Beulangong merupakan ulee makanan (kepala makanan). Ulee makanan bermakna setiap ada masakan apapun, kenduri apapun tetap kuah beulangong menjadi menu utama.
"Ini khas Aceh Rayeuk (sebutan lain Aceh Besar) Kuah Beulangong. Karena Kuah Beulangong ini kepala makanan, yang tidak ada di tempat lain," kata Geuchik (kepala desa) Gampong Lamdom, Fauzan beberapa waktu lalu kepada merdeka.com.
Memasak kuah beulangong sudah menjadi tradisi warga Gampong Lamdom untuk perekat silaturahmi, membangun persatuan. Sama halnya seperti gampong lainnya, Kuah Beulangong juga menjadi tradisi disediakan pada hari-hari besar Islam, atau kenduri lainnya.
Kuah Beulangong yang kaya rempah-rempah khas Aceh ini memang sangat mudah ditemukan di beberapa warung nasi di Banda Aceh dan Aceh Besar. Rata-rata Kuah Beulangong yang dimasak di warung nasi lebih dikenal dengan sebutan Kari Kambing.
Memasak kuah beulangong merupakan masakan tradisional khas Aceh Rayeuk yang sudah melegendaris. Sejak zaman kesultanan, kuah beulangong sudah mulai dimasak untuk kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai rasa syukur.
Bahkan dalam sejarah, Kuah Beulangong dulunya ada sedikit campuran ganja sebagai penyedap dan agar daging empuk. Tarmizi A Hamid yang akrab disapa Cek Midi, seorang kolektor manuskrip kuno di Aceh menjelaskan, dalam Kitab Tajulmuluk, sebuah manuskrip kuno yang dimilikinya, ganja memang sudah menjadi komoditi penting untuk menyajikan masakan yang lezat masa kerajaan Aceh dulu.
Zaman dulu, tanaman ganja bahkan menjadi penghias di halaman rumah. Tanaman ini tumbuh di mana saja, bahkan menjadi tumpang sari untuk berbagai tanaman di perkebunan.
Mengapa pada zaman dulu ganja kerap digunakan pada makanan? Cak Midi ternyata memiliki penilaian sendiri. Dari literatur manuskrip kuno yang dia temukan, selain untuk penyedap rasa. Ganja juga digunakan untuk bahan pengawet makan yang alami, tanpa tercampur dengan zat kimia yang berbahaya untuk kesehatan.
Secara budaya, masyarakat Aceh dulu memang telah lama mengonsumsi ganja untuk hal positif. Bukan penggunaan yang negatif seperti saat ini dijadikan rokok yang bisa memabukkan. Anak-anak muda masa kini, telah menyalahgunakan tumbuhan 'ajaib' yang tumbuh subur di Serambi Mekkah. Padahal, beberapa Negara di Eropa, ganja bisa menjadi komoditi yang produktif, untuk dijadikan berbagai pengobatan dan produk alternatif lainnya.
Meskipun tradisi menambah sedikit ganja dalam Kuah Beulangong untuk penyedap rasa sudah jarang dilakukan. Meskipun tak menampik ada beberapa warung nasi yang menyediakan kari kambing ada yang menggunakan sekadarnya saja.
Namun diyakini, Kuah Beulanong yang dimasak pada tradisi yang dilestarikan oleh warga Aceh Rayeuk dan Banda Aceh saat ini. Baik saat memperingati hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, pesta perkawinan hingga peringatan Nuzul Quran dalam bulan Ramadan, kuah beulangong menjadi menu penting dimasak sebagai perekat silaturrahmi antar warga tidak menggunakan ganja.
"Ini dalam rangkaian memperingati Nuzulul Quran dalam bulan Ramadan. Tujuannya untuk menyatukan masyarakat, membuat persatuan masyarakat, hikmahnya masyarakat di sekeliling bisa kita undang berbuka bersama untuk menyambung silaturahmi," tegasnya.
Masakan kuah beulangong khas Aceh Rayeuk sebenarnya juga terdapat di beberapa daerah lainnya. Akan tetapi, hanya saja cara memasak yang berbeda. Di Kabupaten Pidie misalnya, memasak kuah beulangong lebih dominan berwarna merah, karena banyak cabai dan dicampur dengan santan kelapa yang sudah diperas.
Berbeda dengan kuah beulangong, tidak menggunakan santan peras. Tetapi kelapa yang sudah diparut langsung dicampur ke dalam kuah beulangong. Sedangkan di daerah lain, kelapa parut diperas dan ampasnya dibuang. Rasanya sebenarnya sama-sama gurih, aroma khas rempah-rempah memantik nafsu makan.
Bumbu yang dipakai seperti cabe rawit, cabai merah, bawang merah dan putih serta beberapa rempah-rempah lainnya. Seperti daun teumeurui, serai hingga ada dicampur sedikit lada.
Geucik Fauzan menyebutkan, sejak tahun 1953 Gampong Lamdom sudah mulai memasak masakan khas Aceh Rayeuk ini. Para pendahulu memasak kuah beulangong ini untuk menyambung silaturahmi dengan sesama warga sendiri maupun dengan warga gampong tetangga lainnya.
"Silaturahminya, waktu buka puasa akan diundang warga gampong tetangga untuk berbuka puasa bersama," imbuhnya.
Setelah 12 pekerja bergelut dengan asap dan panasnya bara api selama 4 jam lebih. Kuah Beulangong pun sudah matang. Warga setempat, mayoritas kaum hawa membawa tempat untuk mengambil kuah beulangong yang akan dibagi-bagikan.
Warga diminta untuk antri dan tertib. Petugas yang membagikan pun mengatur tempat yang dibawa oleh warga, lalu dibagikan sama rata. Setelah itu warga kembali pulang dengan senyum sumringah dengan membawa kuah beulangong gratis.
"Biaya swadaya dari masyarakat. Sekarang ini dua lembu besar menghabiskan anggaran Rp 50 juta," tukasnya.
Kuah beulangong bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Kuah beulangong kuliner tradisional yang sudah melegendaris telah memantik wisatawan datang ke Aceh untuk mencicipinya. [merdeka]
Comments
Post a Comment