Siang itu, ruang pertemuan Meuligo Wali Nanggroe Aceh di lantai dua tampak penuh. Ada puluhan aktivis peduli situs sejarah berbaur dengan jurnalis mendengarkan pemaparan hasil penelitian, jejak situs baru yang ditemukan 30 meter di bawah tanah di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh.
Jejak situs baru ditemukan itu semakin memperkuat bahwa Gampong Pande merupakan pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan yang disebut-sebut daerah masuknya peradaban Islam di Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam dikenal dengan wilayah kekuasaannya hingga ke Negeri Pahang, Malaysia.
Prof. Dr. Ir. Teuku Abdullah Sanny M.Sc, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) pemegang hak paten alat pemindaian keberadaan benda-benda di bawah tanah yang diberi nama Georadar, tampak fokus memaparkan temuannya. Semua fokus melihat ke arah layar proyektor, mendengarkan teknis penelitian yang dilakukan selama 3 bulan dengan radius 1 sampai 2 kilometer.
"Dari hasil penelitian ini, kita menemukan benda-benda logam dan berbentuk bangunan di bawah tanah di Gampong Pande," kata Prof Abdullah Sanny dalam paparannya, Senin (10/6) di Meuligo Wali Nanggroe Aceh.
Alat Georadar merupakan teknologi relatif masih baru dengan memanfaatkan gelombang elektromaknetik. Jadi gelombang itu kemudian dipancarkan ke dalam bumi untuk mendeteksi benda padat apa saja yang terdapat.
Melalui gelombang elektromaknetik bisa mendeteksi benda berupa bangunan, logam, besi, pipa dan juga kabel. Penampakan melalui gelombang tersebut diterima oleh reserver lalu diproses untuk mengeluarkan citra seperti rontgen.
"Dari gambar itu bisa kelihatan ada lampiran logam, bangunan atau besi," ungkap Prof Abdullah Sanny.
Berdasarkan penelitian menggunakan alat Georadar di Gampong Pande itu ditemukan tiga stratum (lapisan geologi) dengan kedalaman 3 sampai 5 meter stratum pertam, kedalaman 12 sampai 15 meter stratum kedua dan kedalaman 28 sampai 30 meter stratum ketiga.
Ditemukannya tiga stratum tersebut membuktikan bahwa ada tiga kelompok manusia pernah hidup masa itu. Prof Abdullah Sanny menyebutkan, setelah gempa terjadi pada stratum ketiga, lalu tertimbun semua.
Setelah itu kembali didiami oleh kelompok manusia pada stratum kedua selama ratusan tahun hingga kembali terjadi gempa dan gelombang tsunami. Wilayah tersebut kembali tertimbun dan setelah itu kembali didiami oleh manusia hingga terjadi gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu juga telah menciptakan stratum ketiga.
Berdasarkan temuan itu, dari bukti-bukti yang dipindai menggunakan alat Georadar itu, ditemukan struktur bangunan atau benda keras lainnya yang tidak berakar. Sesuatu yang tidak berakar dan berada di beberapa titik bisa dipastikan itu bukan terbentuk oleh alam. Akan tetapi dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri.
Ada lima titik lokasi diteliti menggunakan Georadar. Prof Abdullah Sanny bersama timnya semua menemukan benda keras, logam yang diduga struktur bangunan masa lampau yang telah tertimbun tanah ribuan tahun silam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daerah Gampong Pande telah terjadi tiga kali penguburan berupa subsidence kemungkinan akibat gempa tektonik masa itu.
Ini dibuktikan ada lokasi-lokasi yang mencerminkan adanya logam berat di dua daerah stratum di bawah tanah di Gampong Pande. Dua stratum itu dengan kedalaman 12 sampai 15 meter dan kedalaman 28 sampai 30 meter.
"Setelah gempa awal itu dijadikan tempat hidup lagi, kemudian gempa lagi. Dijadikan tempat hidup lagi," jelasnya.
Menurut Prof Abdullah Sanny, secara ilmiah semakin membuktikan bahwa Gampong Pande merupakan situs dan cagar budaya yang wajib dilestarikan. Berdasarkan pendapat ahli sejarah, di kawasan itu merupakan bekas Kerajaan Aceh Darussalam.
Oleh karena itu, Prof Abdullah Sanny menyebutkan ini menjadi pelajaran penting bagi rakyat Aceh, agar sepanjang pantai Ulee Lheue dan kawasan Gampong Pande, merupakan kawasan cagar budaya yang tidak boleh ada pembangunan apapun.
Namun, Prof Abdullah Sanny enggan menjelaskan secara detail lima titik lokasi yang dilakukan penelitian tersebut. Akan tetapi dia memastikan lokasi pembangunan proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan pembangkit listrik sampah masuk dalam wilayah penelitian yang dilakukannya.
Oleh sebab itu pemerintah harus membuat zonasi cagar budaya dan kawasan yang aman ditempati oleh warga. Agar bila suatu waktu kembali terjadi gempa dan tsunami tidak banyak memakan korban jiwa. Termasuk untuk mencegah agar di wilayah cagar budaya itu tidak ada pembangunan fisik, kecuali bisa dipergunakan untuk lahan perkebunan saja.
"Artinya pelajaran berharga bagi rakyat Aceh, sepanjang pantai Ulee Lheue kemungkinan terjadi subsidence dimasa mendatang, oleh karena itu harus ada zona yang harus dipatuhi tidak boleh tinggal di situ kalau ingin selamat," tegasnya.
Prof Abdullah Sanny menyarankan kepada pemerintah agar membuat zonasi yang tepat. Mana zonasi subsidence, zonasi tsunami dan zonasi gempa bumi. Sehingga masyarakat kedepan tidak banyak mengalami permasalahan, termasuk akan memudahkan untuk merawat situs penting dalam sejarah peradaban Aceh tempo dulu.
Pada dasarnya pemerintah Kota Banda Aceh saat ini tidak perlu susah lagi untuk membuat zinasi tersebut. Pada masa Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh paska tsunami, telah membuat peta zonasi tersebut dan sekarang tinggal pelaksanaannya saja.
Zonasi yang dimaksud di sini, sebutnya, nantinya pemerintah akan membuat green place (Tempat Hijau), dimana warga tidak boleh menempati di daerah itu. Akan tetapi wilayah green place itu bisa dipergunakan oleh warga untuk dijadikan perkebunan atau menanam tanaman produktif lainnya.
Nah, untuk membuktikan apa yang terdapat di bawah tenah tersebut. Prof Abdullah Sanny menyebutkan tahap selanjutnya harus dilakukan penggalian. Sehingga setelah digali akan tampak jelas bangunan atau benda apa yang terdekteksi oleh alat Georadar itu.
"Harus ada penggalian untuk kita tau apa logam keras itu," jelasnya.
Salah satu lokasi yang terdapat logam dan berbentuk bangunan yang dilakukan penelitian berada di IPAL. Ia juga sangat menyesalkan ada proyek pembangunan lain berada di atas cagar budaya yang semestinya dilestarikan.
"Di titik IPAL juga bagian dari penelitian. Iya, justru timbul (penelitian) melalui dari itu," tegasnya.
Memperkuat keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam
Dosen Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr Husaini Ibrahim, MA menyebutkan, ini merupakan sumbangan besar pembuktian sebagai data sejarah arkeologi keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam. Nantinya harus ditulis dengan menggunakan metodelogi sejarah, termasuk data dari Georadar tersebut.
"Ini merupakan sumbangan data yang sangat penting dalam kolaborasi, pendekatan yang dilakukan tidak lagi bersifat satu ilmu saja, sudah menggunakan banyak disiplin ilmu," jelas Arkeolog Aceh.
Penulis buku Awal Masuknya Islam ke Aceh, Analisis Arkeologi dan Sumbangannya pada Nusantara ini menyebutkan, Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kerajaan besar tempo dulu dan ada beberapa kerajaan lain sebelumnya.
Di kawasan ditemukannya situs baru di Gampong Pane itu, sebutnya, dulunya ada dua Dinasti yang cukup terkenal. Pertama Dinasti Meukuta Alam dan Dinasti Darul Kamal.
Sedangkan konteks Kerajaan Aceh Darussalam, ketika Sultan Ali Mughayatsyah menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh Besar dan daerah-daerah lain, termasuk kerajaan Pasai, Pedir. Kerjaan-kerajaan kecil itu disatukan di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai sebuah federasi kerajaan.
"Tetapi jauh sebelumnya di daerah itu terdapat kerajaan yang dikatakan sebagai Dinasti dari pada Meukuta Alam dan Dinasti Darul Kamal, kemudian disatukan," jelasnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 disebutkan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Husani Ibrahim menyebutkan, undang-undang tegas menyebutkan setiap situs sejarah harus dilindungi. Pemerintah berkewajiban melestarikannya dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan atau hilang.
"Artinya yang dikatakan sebagai situs, cagar budaya tidak boleh ada bangunan apapun di sana, kecuali untuk pengembangan," tegasnya.
Pengembangan yang dimaksud Husaini Ibrahim yaitu pemerintah harus menetapkan tiga kawasan untuk melestarikan cagar budaya. Yaitu pertama kawasan inti, kedua kawasan penyangga dan ketiga kawasan pengembangan.
"Ketiga kawasan ini harus dijaga, jadi jangan sampai terjadi ada pembangunan di kawasan inti misalnya, tidak boleh terjadi," tukasnya.
Husaini Ibrahim sangat menyesalkan adanya pembangunan IPAL di kawasan inti cagar budaya di Gampong Pande. Tentu ini telah melanggar undang-undang, karena mendirikan bangunan di atas cagar budaya yang semestinya dilindungi.
Husani menyebutkan, kalau pemerintah hendak menyelamatkan situs sejarah. Maka setiap bangunan, termasuk rumah warga yang berada di kawasan inti harus dipindahkan ke tempat lain. Sehingga cagar budaya itu tidak hilang dan rusak nantinya. [merdeka]
Comments
Post a Comment