Lima pemuda tampak sibuk memasak Ie bue peudah dalam belanga besar di sudut meunasah (surau) Gampong Bueng Bak Jok, Kecamatan Kutabaro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. bubur gurih dengan aroma khas rempah-rempah tercium hingga radius 5 meter.
Lima pemuda itu saling berbagi tugas. Ada yang mengaduk menggunakan bak kala (batang kecombrang). Ada juga yang bertugas menjaga api agar tetap normal. Ie bue peudah ini dimasak menggunakan kayu bakar.
Selama 2,5 jam, sekelompok pemuda ini berjibaku dengan asap yang terus mengepul. Hawa panas membuat peluh bercucuran. Namun mereka tak boleh beranjak di samping belanga besar itu, karena harus selalu diaduk. Tugas mengaduk pun digilir, bila satu capek digantikan dengan rekan lainnya.
"Aduk ini harus menggunakan bak kala," kata Ketua Kelompok, Nofriadi.
Ie bu peudah mulai tampak mengental dan mendidih. Nofriadi segera meminta rekannya untuk menambah air. Proses memasak bubur ini, air harus ditambah pelan-pelan hingga matang, berubah warna sedikit kecoklatan.
Ie bu peudah merupakan bubur yang terbuat dari campuran 44 jenis rempah-rempah dan dedaunan. Campurannya seperti Daun Sitahe, Saga, Daun Delima, Daun Pepaya, Daun Murung, Serai, Bak Kala, Kelapa, Lada (lada putih dan hitam) dan kunyit. Mengaduk pun harus menggunakan bak kala. Warga pecaya wangi bak kala membuat ie bu peudah semakin gurih.
"Yang sulit dicari sekarang daun peugaga dan cabai buta," kata Geuchik (kepala desa), Hafidh Maksum.
Sama seperti halnya di gampong lainnya di Aceh Besar. Bagi warga Gampong Bueng Bak Jok, sudah menjadi ritual setiap Ramadan memasak Ie bu peudah secara bergotong-royong. Ie bu peudah itu nantinya akan dibagikan kepada 270 Kepala Keluarga.
Setiap hari sekelompok pemuda secara bergilir bertugas memasak bubur khas Aceh Besar itu. Semua pemuda di gampong ini cukup mahir memasak Ie bu peudah, karena setiap tahunnya pemuda ditugaskan memasak secara berkelompok.
Sedangkan kaum hawa, dua minggu sebelum memasuki bulan Ramadan sudah mempersipkan seluruh rempah-rempah yang diperlukan memasak Ie bu peudah. Ibu-ibu secara bergotong-royong mencari dedaunan di hutan untuk persiapan selama satu bulan.
Dedaunan yang telah dipetik itu, lalu dijemur hingga rapuh selama empat hari, hanya daun Saga tidak dijemur. Setelah itu ditumbuk menggunakan jeungki sampai halus. Jeungki adalah alat tumbuk tradisional yang bisa dipergunakan untuk menumbuk padi, beras hingga halus menjadi tepung.
Bumbu rempah dedaunan itu kemudian dicampur dengan beras dan kelapa. Setiap hari menghabiskan empat bambu beras atau setara 8 kilogram beras sekali masak. Lalu dicampur langsung dalam belanga besar, termasuk 10 buah kelapa yang sudah diparut.
"Yang masak bergilir, pemuda usia dibawah 50 tahun," jelas Hafidh.
Ie bu peudah dimasak setelah salat Dzuhur. Nantinya setelah Ashar baru masak dan warga mengambil sendiri dalam belanga besar. Warga pun tampak tertib, mengambil bubur kaya rempah-rempah secukupnya. Tak ada yang berlebihan mengambilnya.
Sebagian lagi yang tersisa dipersiapkan untuk menu berbuka puasa. Terutama diperuntukkan untuk musafiryang kebetulan singgah di meunasah. Termasuk disimpan untuk kebutuhan yang bertadarus setelah salat tarawih.
Tradisi memasak Ie bu peudah di gampong ini sudah berlangsung secara turun termurun. Semasa Aceh konflik, memasak Ie bu peudah tetap dilakukan, meskipun gampong ini merupakan garis merah masa itu. Namun memasak Ie bu peudah bagi mereka suatu keharusan dan wajib dilaksanakan.
"Sudah menjadi tradisi, sudah sejak nenek moyang kami dulu sudah memasak," jelasnya.
Warga setempat meyakini, Ie bu peudah memiliki khasiat bagi kesehatan yang bisa membuat mereka kuat berpuasa. Stamina bisa bertambah setelah minum Ie bu peudah hingga badan tetap bugar seharian selama berpuasa.
Bubur khas Aceh Besar ini yang kaya rempah-rempah dari dedaunan juga dipercaya bisa mencegah perut kembung, gangguan lambung. Hingga dipercaya bisa mengobati obat batu karang seperti terdapat khasiat pada daun saga.
Cita rasa Ie bu peudah hampir sama dengan kanji-kanji lain yang membedakannya rasa pedas lebih dominan. Ini disebabkan campuran rempah-rempah dari dedaunan seperti lada, kunyit, jahe.
"Yang bikin pedas itu karena ada lada dan jahe," kata dia.
Hafidh Maksum menyebutkan, masakan Ie bu peudah sudah ada sejak masa kesultanan Aceh dulu. Bubur khas kaya dengan rempah-rempah ini diyakini dimasak agar anak-anak tidak menggangu ibunya di rumah saat sedang memasak.
"Dimasak agar anak-anak bisa lali di tempat masak, jadi enggak ganggu ibunya di rumah sedang memasak, itu dulu masa kesultanan," ujar Hafidh Maksum.
Berdasarkan kisah-kisah dari tokoh masyarakat, sebut Hafidh, Ie bu peudah merupakan bubur pertama ada di Aceh. Setelah itu terjadi modifikasi menjadi bubur kanji yang banyak dikenal dan dijual di pusat-pusat penjualan takjil di Aceh.
Bahkan di beberapa masjid lainnya, lebih banyak memasak bubur kanji dibandingkan Ie bu peudah. Ie bu peudah selain sulit mendapatkan bahannya, seperti rempah-rempah dedauan dalam hutan, proses memasak pun terbilang rumit.
"Bubur kanji itu perubahan dari Ie bu peudah. Yang pertama dulu dikenal itu Ie bu peudah, bukan bubur kanji," sebutnya.
Sementara dalam versi lainnya, bubur kanjilah yang pertama sekali dimasak masa kesultanan Aceh dulu. Sedangkan Ie bu peudah itu transformasi dan pengembangan setelah adanya bubur kanji.
"Bukan, bubur kanji itu duluan, baru pengembangannya Ie bu peudah," kata Dosen Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Tgk Adli Abdullah.
Menurutnya, kuliner Aceh itu semua dipengaruhi dari Malabar, India. Setiap orang yang hendak berhijrah ke Aceh, terlebih dahulu singgah di Malabar. Malabar merupakan pusat perekonomian internasional kala itu, sehingga banyak pedagang singgah terlebih dahulu di kota tersebut.
Makanan di Aceh mayoritas terasa pedas dan kemerahan karena menggunakan banyak cabai merah. Selain itu, makanan Aceh juga berminyak. Adli Abdullah menyebutkan, hampir semua makanan di Aceh dipengaruhi dari India. [merdeka]
Comments
Post a Comment