Lantunan ayat Alquran di Masjid Tgk Dianjong menggema, pertanda akan memasuki waktu zuhur di serambi Makkah. Cuaca mendung, pekarangan masjid tampak basah usai turun hujan.
Puluhan jemaah bergegas menuju tempat wudu, sebagian lagi sudah masuk ke masjid dan langsung menunaikan salat sunah sebelum zuhur.
Azan pun berkumandang, semua jemaah salat zuhur berdiri rapi. Habib Haris Al-Idrus langsung berdiri paling depan menjadi imam. Sebelum salat dimulai, imam terlebih dahulu mengingatkan jemaah untuk berdiri rapi dan saf rapat.
Hunjan rintik-rintik terus mengguyur. Satu persatu jemaah meninggalkan masjid yang bersejarah ini. Masjid yang memiliki enam tiang berdiri kokoh di lembah Krueng (sungai) Aceh, Gampong Pelanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh.
Masjid yang memiliki arsitektur bernuansa tradisional, ternyata menyimpan banyak sejarah peradaban Islam di Aceh. Sejarah perjuangan menyebarkan Islam yang unik dan heroik. Bahkan dalam catatan sejarah, dari masjid ini juga awal mula sebutan Aceh sebagai Serambi Makkah.
Sebelum tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004 lalu, masjid ini berkonstruksi kayu. Namun semua hancur tersapu tsunami.
Kemudian dibangun kembali masjid yang menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh ini menggunakan konstruksi beton, dengan tanpa menghilangkan nuansa tradisional.
Pekarangan masjid pun ditata rapi. Termasuk kuburan Tgk Dianjong yang berada di samping kiri masjid, telah dipugar dengan membangun bangunan permanen. Makam ulama yang pernah menyelematkan kerajaan dari utang terhadap kerajaan Inggris ini dipasang jerejak besi dan beratap.
Masjid Dianjong merupakan masjid tertua di Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini didirikan oleh Tgk Dianjong yang memiliki nama aslinya adalah Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih pada tahun 1769 masehi.
Tgk Dianjong merupakan ulama besar asal Gadramaut, Yaman yang mengembara ke Asia Tenggara hingga akhirnya menetap di Aceh untuk menyebarkan Islam. Tgk Dianjong tinggal di Aceh semasa Sultan Alaudin Mahmudsyah (1760-1781) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.
Mengapa Habib Abubakar dipanggil dengan Tgk Dianjong? Tgk Dianjong sebenarnya gelar yang disematkan oleh masyarakat setempat. 'Dianjong' yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam versi lain karena Tgk Dianjong cukup taat beribadah dan banyak menghabiskan waktu untuk berzikir, salawat dan juga duduk rawatib di anjungan masjid.
"Beliau itu merupakan ulama tasawuf dan juga berperan menjadi ulama fikih yang telah menjadi pembimbing warga hendak menunaikan ibadah haji, tidak hanya orang Aceh tetapi orang luar Aceh," kata Ketua Balai Kemakmuran Masjid (BKM) Masjid Tgk Dianjung, Bustami, Selasa (22/5).
Tgk Dianjong menurut catatan sejarah pernah mempersunting putri Hulubalang dan mereka tinggal di anjungan rumah mertuanya. Namun tanpa dikarunia anak, istrinya meninggal dunia dan Tgk Dianjong kembali ke Yaman.
Tgk Dianjong baru kembali ke Aceh setelah menikah lagi dengan Syarifah Fathimah binti Sayiid Abdurrahman Al-Aidid, atau biasa dipanggil dengan Aja Eusteri di negerinya. Makam Aja Eusteri juga dikebumikan di sebelah makam Tgk Dianjong dalam pekarangan masjid.
Bustami menjelaskan, Tgk Dianjong datang ke Aceh tahun 1642 masehi. Meskipun Tgk Dianjong saat itu tidak langsung datang ke Aceh, tetapi terlebih dahulu singgah di Madinah untuk mengamalkan kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dua rekannya yang juga ulama besar saat itu.
Mereka itu adalah Sayyid Abdurrahman bin Mustafa Alaydrus, Sayyid Syeikh bin Muhammad Al-Jufri. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir hingga ke Malabar, India. Baru setelah itu Tgk Dianjong menetap di Aceh. Kisah perjalanan tiga ulama ini hingga sekarang masih diperbincangkan oleh para ulama di Yaman.
Sang Penyelamat Raja
Diriwayatkan bahwa Tgk Dianjong pernah menjadi sang penyelemat Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah (1760-1781 masehi). Pada saat itu, kerajaan sedang mengalami kesulitan keuangan, utan dengan kerajaan Ingris telah menumpuk.
Tentunya ini menyangkut marwah kerajaan, merasa malu bila tidak mampu membayar utan. Akhirnya raja pun mengumpulkan seluruh pembantu, membahas jalan keluar persoalan yang sedang melilitnya.
Yang membuat Sultan khawatir, bila semua harta kerajaaan, penambangan dan seluruh pajak dikumpulkan tetap saja tidak mencukupi neraca utang. Karena inilah raja semakin gelisah.
Berdasarkan naskah Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan Ilmu Sosial Unsyiah (1987) yang disampaikan oleh Bustami, Sultan Alauddin Mahmud Syah meminta pendapat pada majelis kerajaan. Majelis menyarankan kepada Sultan agar meminta bantuan kepada Tgk Dianjong.
Sultan pun mempersiapkan utusan untuk bertemu dengan Tgk Dianjong. Sultan mempersiapkan hidangan makanan untuk diberikan kepada Tgk Dianjong, sebagai bentuk memuliakan ulama Kasyaf kala itu.
Sampai di hadapan Tgk Dianjong, utusan itu langsung menyampaikan pesan dari Sultan, bahwa kerajaan sekarang sedang mengalami kesulitan utang dengan kerajaan Inggris.
Setelah mendengar pesan dari Sultan, Tgk Dianjong kemudian menyarankan untuk membahas perkara ini dengan Teungku Syiah Kuala, mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Namun Teungku Syiah Kuala mengaku tidak mampu memenuhi permintaan sultan.
Teungku Syiah Kuala saat itu menyebutkan, hanya Tgk Dianjong yang bisa mencari jalan keluar atas persoalan ini. Utusan sultan pun kembali ke Tgk Dianjong dan menyampaikan pesan dari Teungku Syiah Kuala.
Tgk Dianjong akhirnya bersedia membantu. Lalu dia meminta disediakan beberapa goni lalu dimasukkan pasir dan diletakkan di pinggir Kreung Aceh (sekarang disebutkan dengan jembatan Pante Pirak).
Semua goni yang sudah terisi pasir diangkut ke pantai Cermin, sekarang lebih dikenal dengan Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Sedangkan hidangan makanan tadi diminta dikembalikan kepada Sultan. Tgk Dianjong berpesan, hidangan yang dikembalikan dan pasir dalam goni tadi hanya boleh dibuka oleh sultan.
Ketika Sultan membuka hidangan makanan tadi, betapa kaget ternyata makanan tadi sudah berubah menjadi emas. Sedangkan pasir dalam goni tadi sudah berwujud perak.
Dengan bantuan Tgk Dianjong lah kemudian sultan bisa membayar utan kepada kerajaan Inggris. Selamatlah sultan dari rasa malu dan Tgk Dianjong menjadi penyelamat sultan dari kewibawaan di mata kerajaan Inggris.
Aceh Serambi Makkah
Bustami mengaku, awal mula sebutan Aceh itu Serambi Makkah tidak terlepas dari pengaruh Tgk Dianjong. Tgk Dianjong dikenal dengan ulama Tasawuf dan juga paham dengan ilmu fikih. Sehingga tidak heran ada banyak orang datang dari berbagai penjuru di Nusantara ini untuk belajar kepadanya. Terutama belajar tentang manasik haji, sehingga tempat tinggalnya di Peulanggahan tidak tertampung, karena semakin membludaknya orang datang belajar kepadanya.
Sebelum mendirikan masjid, Tgk Dianjong menampung seluruh santri di rumah miliknya yang kecil. Semakin bertambahnya yang belajar kepada Tgk Dianjong, rumah miliknya tidak muat lagi menampung.
Lalu Tgk Dianjong mengambil inisiatif mendirikan masjid. Masjid itu selain menjadi tampat ibadah, juga dijadikan tempat mengaji, belajar tentang ilmu agama dan juga dijadikan pusat bermusyawarah.
Bahkan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pernah dijadikan tempat berkumpul untuk menggalang kekuatan melawan penjajah Belanda kala itu. Semua laskar-laskar perjuangan Aceh, selalu mengatur strategi dan bermusyawarah di masjid tersebut untuk berperangan dengan Belanda.
"Jadi masjid ini juga menjadi masjid bersejarah di Banda Aceh," jelas Bustami.
Dalam pekarangan masjid yang luas sekitar 4 hektare ini juga dibangun pondok-pondok semacam asrama. Pondok-pondok ini dibangun untuk menampung jemaah haji yang singgah di Aceh, sebelum kembali berangkat ke Makkah.
Semua yang singgah di masjid Tgk Dianjong hendak menunaikan ibadah haji. Selama singgah di Masjid Tgk Dianjong, jamaah haji memperdalam ilmu pengatahuan tentang naik haji.
Banyaknya orang singgah sebelum berangkat ke Makkah, kemudian Aceh disebut dengan Serambi Makkah. Serambi dalam bahasa Aceh Seuramoe. Hampir semua rumah tradisional di Aceh memiliki Seuramoe. Seuramoe itu tempat singgah sementara sebelum masuk ke dalam rumah.
Filosofi itulah kemudian disebutkan Aceh sebagai Serambi Makkah. Jemaah haji yang berada di Nusantara ini terlebih dahulu singgah di Aceh sebelum berangkat lagi ke Makkah. Kala itu, untuk berangkat ke Makkah bisa bertahun-tahun, karena menggunakan jalur laut. [merdeka]
Comments
Post a Comment