Pengrajin Besi Terancam Tutup Tak Ada Regenerasi

BANDA ACEH - Dentingan besi saling bersahutan di sebuah gubuk yang beratapkan rumbia. Tangan pengrajin terlihat cekatan mengayunkan palu seberat 2 kilogram menghantam besi panas yang berwarna merah.

Blower menghembus pelan ke dapur yang dibuat khusus untuk membakar besi. Besi itu dibakar menggunakan arang dari tempurung kelapa.

Besi berwarna hitam berubah menjadi merah. Cepat-cepat pekerja menghantamkan palu ke besi dengan hati-hati, hingga pelan-pelan besi per mobil tipis memanjang berubah wujud menjadi parang dan beragam jenis peralatan perkebunan dan pertanian lainnya.

Seperti skrop, parang, pisau, arit dan sejumlah peralatan lainnya. Parang pun beragam jenis, ada yang ujungnya bengkok, ada juga lurus memanjang sekitar 50 centimeter.

Hawa panas terasa di sekitar 5 meter dari dapur membakar besi. Di samping dapur ada penampung air. Sesekali pekerja membasuh tangan untuk sedikit mendinginkan hawa panas yang bersumber dari bara api yang membakar besi.

Besi yang berwarna merah itu diambil menggunakan tang menggunakan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan memegang palu, lalu besi sama besi beradu di atas besi bulat setinggi satu meter yang dijadikan alas tempat meletakkan besi yang hendak diproduksi parang.

Sedangkan di sudut lain, dua pekerja sibuk merapikan setiap parang yang sudah dibentuk. Percikan api memancarkan dari parang tersebut saat digrinda menggunakan alat khusus. Percikan api itu menyebar ke depan pekerja. Tentu, tak boleh telalu dekat berdiri di depannya, bila tak mau terbakar dengan percikan bunga api itu.

Setelah itu, baru besi per mobil berubah bentuk menjadi parang atau beragam jenis peralatan tajam lainnya. Tentunya, dua pekerja yang khusus merapikan parang memasang gagangnya yang terbuat dari kayu dan siap dipasarkan di Gampong Baro, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.

Abdul Munir (44), salah seorang pengrajin besi di Gampong Lamblang Mayang, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar mengaku sudah menjadi pengrajin besi sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Keahlian menjadi perajin pandai besi sudah dilakoninya secara turun temurun. Tak heran, gampong tersebut dikenal dengan kawasan pengrajin besi. Munir sendiri belajar menjadi pandai besi dari orang tuanya, pulang sekolah dulunya langsung bekerja membuat parang dan beragam peralatan perkebunan dan pertanian lainnya.

Semua pekerja di pengrajin besi merek SLM itu masih menggunakan peralatan tradisional. Hanya saja, sedikit modern untuk menghidupkan bara api membakar besi menggunakan blower dan grinda yang memakai energi listrik, sedangkan lainnya masih menggunakan tenaga manusia. Termasuk membentuk parang masih dilakukan secara tradisional.

Bahan baku dibeli dari pengepul besi bekas. Per mobil tersebut dibeli Rp 5 ribu per kilogram. Satu kilogram bisa menghasilkan dua buah parang.

Sedangkan arang dari tempurung kelapa juga dibeli dari pihak lain. Mereka membeli Rp 10.000 per kilogram. Harga arang tempurung kelapa ini juga, sebut Munir, sering mengalami kenaikan harganya. Bila sudah naik, tak ada cerita akan turun kembali, hingga membuat biaya produksi parang semakin membengkak.

"Kami bikin parang masih menggunakan alat tradisional, hanya ini blower yang canggih sedikit. Arang sering naik harga, sedangkan harga parang tak pernah naik," kata Abdul Munir, Kamis (29/3).

Sembari terus bekerja menjinakkan besi merah. Abdul Munir berkisah, ia sudah puluhan tahun bekerja menjadi pandai besi. Saat itu, dia diajarkan oleh orang tuanya cara membuat parang.

Hal yang membuat Munir miris, pandai besi ini sudah dipertahankan sejak tiga generasi lalu. Akan tetapi, anak-anak muda sekarang tidak ada yang berminat untuk melanjutkan tradisi ini.

Ia memprediksi, bila generasinya nanti tak mampu lagi bekerja menjadi pandai besi, akan terancam tak ada yang melanjutkannya. Hingga sekarang, anaknya sendiri enggan untuk belajar menjadi pandai besi. Padahal gampong ini dikenal daerah pusat pengrajin besi.

"Saya ada suruh anak belajar, enggak mau dia, mendekat pun enggak mau. Kalau ada pergi hanya minta jajan langsung pulang," tukasnya.

Setiap hari Munir mampu membuat parang antara 3-5 buah. Terbatasnya produksi, karena masih menggunakan peralatan secara tradisional. Akan tetapi, produk parang merek SLM ini tetap menjaga kualitasnya. "Kami sangat menjaga kualitasnya, kami buat parang dari besi per mobil," jelasnya.

Menjadi pengrajin besi bukan tak ada tantangan yang dihadapi. Selain pemasaran dan promosi yang masih dilakukan secara konvensional. Resiko terbakar fisik juga sering dialaminya.

Bahkan Munir sempat memperlihatkan bekas-bekas luka bakar di kaki dan tangannya saat bekerja. Namun, bagi Munir, itu semua sudah tak terasa lagi, karena sudah terbiasa. Terbakar sedikit itu sudah menjadi risiko dan konsekuensi menjadi seorang pengrajin besi.

"Terbakar itu hal biasa, justru kami sudah kebal," jelasnya.

Meskipun berada di tempat yang sama menjadi pengrajin besi. Munir mengaku mereka pemilik dapur masing-masing. Mereka memproduksi sendiri yang kemudian nantinya akan diambil oleh penampung seharga Rp 100.000 per parang.

Sedangkan untuk pembiayaan kebutuhan tempat, seperti listrik dan kalau terjadi kerusakan tempat. Maka mereka akan menanggung bersama, karena gubuk tempat berteduh membuat parang ini merupakan milik bersama.

"Kami ini toke dan kami sendiri juga anak buah. Listrik dan lain-lain kami tanggung sama-sama," imbuhnya.

Gubuk reyot yang dijadikan tempat pandai besi ini sudah ada sejak puluhan tahun silam. Semua pandai besi sekarang, merupakan generasi ketiga yang turun temurun diwariskan oleh orang tuanya masing-masing.

Pemilik pertama lokasi tanah tempat didirikan gubuk pandai besi itu, Sulaiman (60) mengaku, sudah menjadi pandai besi sejak usia 14 tahun.

Meskipun saat ini, Sulaiman hanya mengontrol dan bekerja bila ada orderan yang banyak. Sulaiman mengaku lebih banyak tidak lagi terlibat menjadi pandai besi.

Selain usianya di ujung senja, saat ini lebih dipercayakan melanjutkan usaha ini kepada yang lebih muda. Semua pekerja di pandai besi ini sebanyak 15 orang semua bersaudara.

"Kami ini semua saudara, sudah turun temurun memang," jelas Sulaiman. Nama Sulaiman telah disematkan menjadi mereka produk parang di gampong tersebut dengan stempel di parang SLM.

Gampong ini memang dikenal di Aceh Besar dan Banda Aceh menjadi daerah perajin pandai besi. Lokasi pandai besi, tak hanya merek SLM, tetapi ada beberapa lokasi lainnya dengan profesi yang sama.

Sulaiman memperkirakan, 70 persen warga gampong ini bekerja sebagai pengrajin besi. Bahkan, sangat kurang terdapat pegawai atau bekerja di bidang lainnya.

Beberapa pengrajin besi lainnya, sebut Sulaiman, ada yang masih menggunakan merek LBM, diambil dari singkatan nama gampong yaitu Lamblang Mayang.

Namun, bagi produk parang miliknya sudah menggunakan merek sendiri yaitu SLM. Ini dilakukan oleh Sulaiman untuk membedakan dengan produk yang lain.

"Ini sebenarnya sangat dasar, tempat pengrajin pandai besi pertama yang ada di gampong ini," tukasnya.

Sekarang produksi pandai besi SLM kalah saing dengan parang yang diproduksi secara moderen. Selain tak mampu menyuplai permintaan dalam jumlah banyak, juga kemampuan modal dan peralatan yang masih tradisional menjadi kendala bagi mereka. [acl/merdeka.com]

Comments