Pemerintah Kabupaten Pidie telah memperingatkan agar aktivitas penambangan emas ilegal di Geumpang agar dihentikan. Permintaan itu melalui surat imbauan tanggal 8 Agustus 2017 lalu yang ditandatangani oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Berdasarkan imbauan itulah, kemudian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh beberapa waktu lalu mempertanyakan sejauh mana implementasinya. Lembaga pecinta lingkungan ini pun mengirim surat kepada pemerintah Pidie, agar melakukan pemantauan apakah masih terdapat aktivitas ilegal itu.
Surat imbauan yang ditandatangani pada intinya, seluruh penambang tak diperbolehkan beroperasi hingga waktu belum ditentukan.
Bahkan dalam surat edaran itu, Forkopimda Kabupaten Pidie memberikan peringatan keras. Bila ada yang tidak mengindahkan, pemerintah akan membawa penambang ilegal itu ke ranah hukum.
Larangan ini bukan tanpa dasar. Perambahan hutan dan rusaknya hulu sungai di Geumpang telah mengancam terjadi bencana ekologi. Logam mulai itu, bila terus diekploitasi secara brutal, akan mengundang bencana besar, baik banjir bandang maupun pencemaran lingkungan yang berdampak terhadap kehidupan makhluk hidup.
Sampai tahun 2017, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat ada 10 kabupaten/kota memiliki aktivitas penambangan emas ilegal di Aceh. Yaitu meliputi Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Kota Subussalam, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan dan Aceh Jaya.
Namun yang terparah berada di Kabupaten Pidie dan Nagan Raya. Di kedua kabupaten ini, penambangan tidak lagi bisa disebut tradisional, karena sudah menggunakan alat berat.
Ada lima lokasi tambang emas ilegal di Geumpang, yaitu Krueng Tangse, Krueng Sikolen, Krueng Geumpang, Gunung Miwah dan Gampong Bangkeh. Berdasarkan pengakuan warga, Krueng Geumpang yang memiliki banyak lubang tambang dan sudah berlangsung sejak 2009 - 2014 penambangan secara tradisional.
Akan tetapi di atas tahun 2014, proses penambangan sudah dilakukan secara modern, yaitu menggunakan alat berat, seperti yang berada di Alue Saya, Alue Rek dan Alue Suloek, sungai tersebut bermuara bagian dari hulu wilayah sungai Woyla Kabupaten Aceh Barat.
Bahkan rentan 2010-2016, sebanyak 38 orang pekerja meninggal dunia akibat longsor dan tertimbun di Aceh. Dari angka itu, 27 orang diantaranya meninggal di lokasi tambang di Geumpang, Kabupaten Pidie.
Padahal aktivitas tambang emas ilegal itu sudah sangat jelas melanggar undang-undang. Mereka melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal 7 memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam pengelolaannya.
Kemudian dalam pasal 158 undang-undang tersebut juga mengatur sanksi pidana kepada setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK. Lalu pasal 160, 161 dan 164 bisa digunakan dasar hukum untuk menindak pelaku pertambangan ilegal.
"Akan tetapi pemerintah dan lembaga penegak hukum belum mampu menertibkan aktivitas itu, hanya bisa membuat seruan dan kampanye media," kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, Selasa (10/10) di Banda Aceh.
Pada tanggal 15 Mei 2017 lalu, sejumlah masyarakat dari Geumpang mendatangi Walhi Aceh, mereka resah maraknya penambangan emas ilegal yang bisa mengundang bencana alam.
Ya, mereka merasa negeri mereka sudah dieksploitasi secara berlebihan tanpa terkendali. Karena ada 300 unit alat berat setiap hari mengeruk dan membuat lubang untuk menambang emas, tentu ini bila tak terkendali bencana alam akan terjadi.
Berdasarkan itulah, kemudian Walhi Aceh melakukan investigasi dengan cara langsung ke lokasi tambang. Investigasi difokuskan pada aktivitas pertambangan emas ilegal dengan pola menggunakan alat berat di Alue Saya dan Alue Suloek pada bulan Juni 2017 lalu.
Di lokasi tambang, Walhi Aceh banyak menemukan fakta yang mencengangkan. Selain kehilangan banyak kayu, karena ditebang untuk menggali lubang tambang emas menggunakan beko. Juga tercemarnya sungai, hutan gundul terancam terjadi banjir bandar yang berkibat fatal permukiman di hilir.
Terjadi kerusakan hutan bukan hanya di titik tambang emas saja, tetapi sepanjang jalur menuju ke lokasi banyak pohon besar sudah ditebang untuk membuka jalan.
Jalan tersebut untuk dilalui alat berat dengan lebar antara 5 – 10 meter, dengan panjang sekitar 150 - 300 meter ke lokasi tambang di Alue Suloek dan 800-1000 meter ke lokasi Alue Saya.
"Hasil hitung cepat ada 10 jalan lainnya yang kami dapatkan. Kiri kanan pohon sudah ditebang dan jalan berlumpur," imbuhnya.
Setiap alat berat yang melintasi di jalan tersebut, pemilik lahan (pembuka jalan) meminta Rp 30 juta per unit. Warga setempat pun memperkirakan, setiap jalan dilintasi 10-15 alat berat.
Adapun pola penambangan masih menggunakan alat berat, namun tidak ditemukan adanya penggunaan mercuri. Alat berat menggeruk bebatuan di pinggir sungai dan tebing sungai. Semua pohon yang berada di lokasi pengerukan semua ditumbangkan dan ditinggalkan bergitu saja, bahkan ada yang terseret arus sungai.
Pasir yang dikeruk itu ditumpahkan ke tempat saringan, lalu disemprotan dengan air untuk memisahkan pasir dengan emas yang tertampung dalam ambal.
"Sisa pasir itu ditumpahkan kembali dalam sungai," jelasnya.
Lubang-lubang bekas tambang emas itu ditinggalkan begitu saja oleh penambang. Demikian juga kerusakan hutan lainnya, seperti kayu yang ditebang tanpa ada upaya pemulihan kembali.
Distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) tak jauh berbeda juga dengan pertambangan di Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Pemilik alat berat juga menggunakan jasa kurir untuk mengantarkan BBM ke lokasi tambang.
Namun perbedaannya, kurir yang mengangkut BBM menggunakan tenaga sendiri, seperti memasukkan jerken ke dalam tas ransel berisi 20 liter, kemudian berjalan kaki menuju lokasi penambangan.
Sedangkan pola lain, ada juga warga yang menggunakan kerbau dan memasang tempat meletakkan jeriken di belakang. Lalu kerbau itu menarik jeriken yang berisi BBM itu. Biasanya, warga yang menggunakan kerbau ini bisa membawa BBM lebih banyak, dibandingkan menggunakan ransel.
"Satu jeriken itu kisaran antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000. Satu hari alat berat menghabiskan BBM sebanyak 160 liter," jelas M Nur.
Sedangkan untuk tenaga kerja, ada juga dari warga setempat maupun warga dari beberapa kabupaten/kota di Aceh. Bahkan ada yang datang dari Sumatera Utara, namun tetap dibawah koordinasi warga setempat.
Pola bagi hasil, Walhi Aceh menemukan membagikan 50:50 dan perhitungannya dilakukan setiap 100 jam operasi alat berat. Melakukan penambangan menggunakan alat berat bisa mencapai 1 ons per hari.
Sedangkan manual, masyarakat menambang secara tradisonal tanpa menggunakan alat berat, hanya bisa menghabiskan uang sekitar Rp 750.000 per hari.
"Pemasaran ada yang dijual langsung ke luar daerah, ada juga toke yang datang ke lokasi," tukasnya.
Penambangan ilegal di Geumpang itu sudah terstruktur. Siapapun yang hendak menambang, harus terlebih dahulu melaporkan kepada panitia yang telah dibentuk.
Pada saat alat berat masuk ke lokasi, pemilik alat berat harus menyetor uang Rp 10 juta kepada pantia. Kemudian setiap bulannya panitia mengutip Rp 5 juta per alat berat.
"Warga yang kami wawancarai, tidak berani menyebutkan identitas pemilik tambang. Akan tetapi pemilik tambang sebutkan para pengusaha SPBU, oknum pejabat, oknum TNI/Polri dan juga oknum pengurus partai politik," jelasnya.
Penambangan emas ilegal di kawasan hutan lindung Geumpang ini berdampak serius terhadap keutuhan fungsi alami hutan dan sungai.
Tumpukan pasir, kerikil, batu dan pohon sepanjang aliran sungai telah menghambat laju air. Sehingga berpotensi terjadi bencana banjir dan longsor di lokasi tambang.
Pengakuan warga labar sungai dan bantaran sebelumnya hanya 8-10 meter. Kondisi sekarang di sungai Alue Suloek lebar antara 50 - 80 meter, kondisi yang sama juga terjadi di Alue Saya.
Walhi Aceh memperkirakan berdasarkan investigasi ke lokasi, ada 9 kilometer aliran sungai sudah dijadikan tambang di Alue Saya dan Alue Suloek. Sedangkan kawasan yang rusak akibat pembangunan jalan mencapai 38 kilometer.
Berdasarkan imbauan itulah, kemudian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh beberapa waktu lalu mempertanyakan sejauh mana implementasinya. Lembaga pecinta lingkungan ini pun mengirim surat kepada pemerintah Pidie, agar melakukan pemantauan apakah masih terdapat aktivitas ilegal itu.
Surat imbauan yang ditandatangani pada intinya, seluruh penambang tak diperbolehkan beroperasi hingga waktu belum ditentukan.
Bahkan dalam surat edaran itu, Forkopimda Kabupaten Pidie memberikan peringatan keras. Bila ada yang tidak mengindahkan, pemerintah akan membawa penambang ilegal itu ke ranah hukum.
Larangan ini bukan tanpa dasar. Perambahan hutan dan rusaknya hulu sungai di Geumpang telah mengancam terjadi bencana ekologi. Logam mulai itu, bila terus diekploitasi secara brutal, akan mengundang bencana besar, baik banjir bandang maupun pencemaran lingkungan yang berdampak terhadap kehidupan makhluk hidup.
Sampai tahun 2017, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat ada 10 kabupaten/kota memiliki aktivitas penambangan emas ilegal di Aceh. Yaitu meliputi Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Kota Subussalam, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan dan Aceh Jaya.
Namun yang terparah berada di Kabupaten Pidie dan Nagan Raya. Di kedua kabupaten ini, penambangan tidak lagi bisa disebut tradisional, karena sudah menggunakan alat berat.
Ada lima lokasi tambang emas ilegal di Geumpang, yaitu Krueng Tangse, Krueng Sikolen, Krueng Geumpang, Gunung Miwah dan Gampong Bangkeh. Berdasarkan pengakuan warga, Krueng Geumpang yang memiliki banyak lubang tambang dan sudah berlangsung sejak 2009 - 2014 penambangan secara tradisional.
Akan tetapi di atas tahun 2014, proses penambangan sudah dilakukan secara modern, yaitu menggunakan alat berat, seperti yang berada di Alue Saya, Alue Rek dan Alue Suloek, sungai tersebut bermuara bagian dari hulu wilayah sungai Woyla Kabupaten Aceh Barat.
Bahkan rentan 2010-2016, sebanyak 38 orang pekerja meninggal dunia akibat longsor dan tertimbun di Aceh. Dari angka itu, 27 orang diantaranya meninggal di lokasi tambang di Geumpang, Kabupaten Pidie.
Padahal aktivitas tambang emas ilegal itu sudah sangat jelas melanggar undang-undang. Mereka melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal 7 memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam pengelolaannya.
Kemudian dalam pasal 158 undang-undang tersebut juga mengatur sanksi pidana kepada setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK. Lalu pasal 160, 161 dan 164 bisa digunakan dasar hukum untuk menindak pelaku pertambangan ilegal.
"Akan tetapi pemerintah dan lembaga penegak hukum belum mampu menertibkan aktivitas itu, hanya bisa membuat seruan dan kampanye media," kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, Selasa (10/10) di Banda Aceh.
Pada tanggal 15 Mei 2017 lalu, sejumlah masyarakat dari Geumpang mendatangi Walhi Aceh, mereka resah maraknya penambangan emas ilegal yang bisa mengundang bencana alam.
Ya, mereka merasa negeri mereka sudah dieksploitasi secara berlebihan tanpa terkendali. Karena ada 300 unit alat berat setiap hari mengeruk dan membuat lubang untuk menambang emas, tentu ini bila tak terkendali bencana alam akan terjadi.
Berdasarkan itulah, kemudian Walhi Aceh melakukan investigasi dengan cara langsung ke lokasi tambang. Investigasi difokuskan pada aktivitas pertambangan emas ilegal dengan pola menggunakan alat berat di Alue Saya dan Alue Suloek pada bulan Juni 2017 lalu.
Di lokasi tambang, Walhi Aceh banyak menemukan fakta yang mencengangkan. Selain kehilangan banyak kayu, karena ditebang untuk menggali lubang tambang emas menggunakan beko. Juga tercemarnya sungai, hutan gundul terancam terjadi banjir bandar yang berkibat fatal permukiman di hilir.
Terjadi kerusakan hutan bukan hanya di titik tambang emas saja, tetapi sepanjang jalur menuju ke lokasi banyak pohon besar sudah ditebang untuk membuka jalan.
Jalan tersebut untuk dilalui alat berat dengan lebar antara 5 – 10 meter, dengan panjang sekitar 150 - 300 meter ke lokasi tambang di Alue Suloek dan 800-1000 meter ke lokasi Alue Saya.
"Hasil hitung cepat ada 10 jalan lainnya yang kami dapatkan. Kiri kanan pohon sudah ditebang dan jalan berlumpur," imbuhnya.
Setiap alat berat yang melintasi di jalan tersebut, pemilik lahan (pembuka jalan) meminta Rp 30 juta per unit. Warga setempat pun memperkirakan, setiap jalan dilintasi 10-15 alat berat.
Adapun pola penambangan masih menggunakan alat berat, namun tidak ditemukan adanya penggunaan mercuri. Alat berat menggeruk bebatuan di pinggir sungai dan tebing sungai. Semua pohon yang berada di lokasi pengerukan semua ditumbangkan dan ditinggalkan bergitu saja, bahkan ada yang terseret arus sungai.
Pasir yang dikeruk itu ditumpahkan ke tempat saringan, lalu disemprotan dengan air untuk memisahkan pasir dengan emas yang tertampung dalam ambal.
"Sisa pasir itu ditumpahkan kembali dalam sungai," jelasnya.
Lubang-lubang bekas tambang emas itu ditinggalkan begitu saja oleh penambang. Demikian juga kerusakan hutan lainnya, seperti kayu yang ditebang tanpa ada upaya pemulihan kembali.
Distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) tak jauh berbeda juga dengan pertambangan di Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Pemilik alat berat juga menggunakan jasa kurir untuk mengantarkan BBM ke lokasi tambang.
Namun perbedaannya, kurir yang mengangkut BBM menggunakan tenaga sendiri, seperti memasukkan jerken ke dalam tas ransel berisi 20 liter, kemudian berjalan kaki menuju lokasi penambangan.
Sedangkan pola lain, ada juga warga yang menggunakan kerbau dan memasang tempat meletakkan jeriken di belakang. Lalu kerbau itu menarik jeriken yang berisi BBM itu. Biasanya, warga yang menggunakan kerbau ini bisa membawa BBM lebih banyak, dibandingkan menggunakan ransel.
"Satu jeriken itu kisaran antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000. Satu hari alat berat menghabiskan BBM sebanyak 160 liter," jelas M Nur.
Sedangkan untuk tenaga kerja, ada juga dari warga setempat maupun warga dari beberapa kabupaten/kota di Aceh. Bahkan ada yang datang dari Sumatera Utara, namun tetap dibawah koordinasi warga setempat.
Pola bagi hasil, Walhi Aceh menemukan membagikan 50:50 dan perhitungannya dilakukan setiap 100 jam operasi alat berat. Melakukan penambangan menggunakan alat berat bisa mencapai 1 ons per hari.
Sedangkan manual, masyarakat menambang secara tradisonal tanpa menggunakan alat berat, hanya bisa menghabiskan uang sekitar Rp 750.000 per hari.
"Pemasaran ada yang dijual langsung ke luar daerah, ada juga toke yang datang ke lokasi," tukasnya.
Penambangan ilegal di Geumpang itu sudah terstruktur. Siapapun yang hendak menambang, harus terlebih dahulu melaporkan kepada panitia yang telah dibentuk.
Pada saat alat berat masuk ke lokasi, pemilik alat berat harus menyetor uang Rp 10 juta kepada pantia. Kemudian setiap bulannya panitia mengutip Rp 5 juta per alat berat.
"Warga yang kami wawancarai, tidak berani menyebutkan identitas pemilik tambang. Akan tetapi pemilik tambang sebutkan para pengusaha SPBU, oknum pejabat, oknum TNI/Polri dan juga oknum pengurus partai politik," jelasnya.
Penambangan emas ilegal di kawasan hutan lindung Geumpang ini berdampak serius terhadap keutuhan fungsi alami hutan dan sungai.
Tumpukan pasir, kerikil, batu dan pohon sepanjang aliran sungai telah menghambat laju air. Sehingga berpotensi terjadi bencana banjir dan longsor di lokasi tambang.
Pengakuan warga labar sungai dan bantaran sebelumnya hanya 8-10 meter. Kondisi sekarang di sungai Alue Suloek lebar antara 50 - 80 meter, kondisi yang sama juga terjadi di Alue Saya.
Walhi Aceh memperkirakan berdasarkan investigasi ke lokasi, ada 9 kilometer aliran sungai sudah dijadikan tambang di Alue Saya dan Alue Suloek. Sedangkan kawasan yang rusak akibat pembangunan jalan mencapai 38 kilometer.
Comments
Post a Comment