BANDA ACEH - Ruang tamu itu memanjang. Terhubung langsung dengan ruang kerja pimpinan pesantren Sulaimaniyah, Abi Tajuddin Ince. Layaknya ruang rapat pimpinan dewan yang tertata rapi dengan perabotan minimalis. Pintu masuk terpasang kaca putih, tembus padang ke dalam ruangan di lantai dua.
Gedung tiga lantai ini beralaskan hambal beragam warna. Siapapun yang datang, semua alas kaki harus ditanggalkan sejak pintu masuk. Perabotan dan sejumlah fasilitas lainnya yang tertata rapi di gedung itu mayoritas di impor dari Turki. Termasuk gelas kopi untuk para tamu barang impor dari Turki.
Abi Tajuddin Ince duduk di kursi paling depan, lalu ada Rahmi Soraya di baris kiri memperkenalkan kami satu persatu pada Abi Tajuddin. Lalu menjelaskan setiap sudut ruangan pesantren Sulaimaniyah yang full Ac, layaknya hotel berbintang.
"Ini dulu kantor kontraktor, lalu hak pakai 10 tahun untuk kami," kata Tajuddin Ince, Selasa (4/4), lalu mengawali pembicaraan. Di sudut kanan ruang pertemuan itu, tepatnya di papan tulis putih tertera tulisan PT Tamitana dengan ukuran kecil.
Abi Tajuddin Ince adalah warga Turki yang telah memboyong anak dan istrinya ke Aceh. Ia adalah tenaga pengajar di pesantren Sulaimaniyah yang menggunakan metode Turki Otsmani. Pesantren Tahfizd Al-Quran 30 juzz ini sudah ada di Aceh sejak 2012 lalu.
Suasana di pesantren ini jauh berbeda dengan pesantren-pesantren yang ada di Aceh. Pesantren besutan ustad-ustad lulusan Pondok Pesantren Sulaimaniyah yang berada di Istanbul Turki cukup tertata rapi bak hotel bintang lima. Seluruh lantai gedung ini terpasang hambal yang bersih dan semerbak harum seluruh ruangan.
Lantai satu selain dijadikan ruang administrasi, juga ada ruang tamu dengan sofa yang terbilang mewah berwarna merah kehitam-hitaman. Di depan pintu masuk, sudah menunggu dua santri sedang piket. Di atas meja piket itu, terletak dua bendera kecil, satu merah putih bendera bangsa Indonesia dan satunya lagi bendera bulan bintang bendera Negara Turki.
Sedikit melangkah ke selatan ruangan ada dapur yang bersih. Kembali ke arah timur terdapat garasi mobil yang sudah disulap menjadi ruang makan dengan kursi plastik warna biru selalu tertata rapi. Di ruang makan inilah, sebanyak 20 santri makan 3 kali sehari.
Mereka juga diberikan fasilitas tempat belajar dan tidur full Ac dengan ranjang bertingkat, fasilitas kesehatan, perlindungan, pendidikan Agama Islam, menghafal Al-Qur`an dan pendidikan bahasa asing yaitu bahasa Turki, bahasa Arab.
Abi Tajuddin Ince menyebutkan program pendidikan menghafal quran ini bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama yang berkeinginan untuk menghafal quran 30 juzz. Meskipun harus melalui proses seleksi yang ketat, namun semua memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di pesantren Sulaimaniyah.
Menariknya, belajar di pesantren ini, orang tua santri tanpa harus mengeluarkan biaya besar, cukup membayar Rp 500 ribu per tahun. Santri sudah mendapatkan fasilitas makan tiga kali, tempat tinggal full AC, kesehatan dan tempat belajar langsung di satu tempat.
Sedangkan bagi keluarga yang tidak mampu. Pesantren ini juga menggratiskan seluruh biaya. Santri tersebut hanya belajar, menghafal quran dan orang tunya tak perlu pusing memikirkan biaya.
Adapun menu yang disediakan cukup mewah. Ransum makan ayam halalan toyyiban seminggu 2 kali dan daging sapi atau kambing halalan toyyiban seminggu sekali.
Kenapa disebut halalan toyyiban, Abi Tajuddin Ince menyebutkan proses penyembelihan hingga memasak benar-benar diperhatikan sesuai dengan perintah hukum Allah.
"Susu tiap pagi. Jam istirahat siang teh Turki dan buah segar," jelas Rahmi Soraya, orang tua santri anaknya yang sudah hafal 30 juzz.
Sedang asyik berbincang, ada Muhammad Hamzah alumni Muharram Journalism Collage (MJC) (MJC adalah sekolah menulis yang digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh), Yulianda Wati Koordinator Komunitas Perempuan Anti Korupsi (KPAK) Aceh dan Abi Tajuddin Ince. Tiba-tiba masuk seorang laki-laki berkulit putih, kumis sedikit tebal tinggi semampai mengantarkan kopi bak pelayan caf yang professional.
Dia itu Abi Orhan Karayel. Staf pengajar di pesantren ini yang juga sudah hafal quran 20 juz. Ia mengantar kopi arabika Turki yang diseduhkan secara adat dan khas Turki.
Kepalanya tertunduk saat berhadapan dengan perempuan. Bahkan dia mengelak dan menolak saat Yulianda Wati mengajak berfoto bersama. Saat Muhammad Hamzah tetap hendak mendokumentasikan momen itu, malah Abi Orhan Karayel memilih memalingkan wajahnya dari sorotan kamera.
"Abi tidak mau melihat wanita, takut hilang hafalan 30 juzz quran yang telah dihafal," jelas Rahmi Soraya. Rahmi yang dipanggil ibu di pesantren tersebut sudah sejak lama bergabung di pesantren tersebut menjadi guru menjahit.
Pengakuan Rahmi Soraya yang juga alumni MJC ikut dibenarkan oleh Abi Tajuddin Ince. Abi mengaku, bagi yang telah menghafal quran tidak boleh ria dan takabur. Termasuk tidak boleh melakukan pelanggaran yang dilarang dalam agama Islam.
Bila sifat ria dan takabur serta melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam syariat Islam, sebut Abi lagi. Seseorang yang telah menghafal quran, meskipun sudah 30 juz, maka hafalan dia itu akan hilang tanpa membekas.
"Ada dulu waktu saya di pesantren di Turki, dia itu cerdas di atas rata-rata. Tetapi karena tidak patuh, akhirnya dia tak jadi apapun," sebut Abi Tajuddin Ince.
Pondok-pesantren Sulaimaniyah ini merupakan organisasi bergerak dibidang sosial keagamaan. Adapun tujuannya, sebut Abi Tajuddin Ince, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlakulkarimah. Sehingga peserta didik bisa bersaing dan memiliki pola pikir yang Islami di era globalisasi saat ini.
Di Aceh sudah ada empat perwakilan dan ada 200 santri lebih sedang belajar. Perwakilan itu ada di Gampong Punge, Darussalam, Peuniti di Kota Banda Aceh dan Blang Bintang di Kabupaten Aceh Besar. Hingga saat ini, ada 100 tenaga pengajar lulusan pesantren di Turki tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan di Aceh ada 20 tenaga pengajar.
Selain menghafal quran, sebut Abi Tajuddin Ince, pesantren Sulaimaniyah juga mengajarkan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya. Seperti Fiqih, Usul Fiqih, dan Ilmu Aqaid.
Ilmu pendidikan agama menjadi konsentrasi utama kurikulum di pesantren tersebut. Namun ilmu pengetahuan umum juga ikut diajarkan untuk menunjang pendidikan sekolah formal hingga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Setiap tahunnya kita ada mengirim peserta didik berprestasi dan yang hafal 30 juz untuk melanjutkan sekolah ke Turki," jelasnya.
Kendati demikian, Abi Tajuddin Ince menyebutkan, setelah tamat dari pesantren ini tidak diwajibkan untuk melanjutkan sekolah ke Turki. Akan tetapi diberikan kebebasan untuk menentukan melanjutkan pendidikan kemanapun.[merdeka.com]
Gedung tiga lantai ini beralaskan hambal beragam warna. Siapapun yang datang, semua alas kaki harus ditanggalkan sejak pintu masuk. Perabotan dan sejumlah fasilitas lainnya yang tertata rapi di gedung itu mayoritas di impor dari Turki. Termasuk gelas kopi untuk para tamu barang impor dari Turki.
Abi Tajuddin Ince duduk di kursi paling depan, lalu ada Rahmi Soraya di baris kiri memperkenalkan kami satu persatu pada Abi Tajuddin. Lalu menjelaskan setiap sudut ruangan pesantren Sulaimaniyah yang full Ac, layaknya hotel berbintang.
"Ini dulu kantor kontraktor, lalu hak pakai 10 tahun untuk kami," kata Tajuddin Ince, Selasa (4/4), lalu mengawali pembicaraan. Di sudut kanan ruang pertemuan itu, tepatnya di papan tulis putih tertera tulisan PT Tamitana dengan ukuran kecil.
Abi Tajuddin Ince adalah warga Turki yang telah memboyong anak dan istrinya ke Aceh. Ia adalah tenaga pengajar di pesantren Sulaimaniyah yang menggunakan metode Turki Otsmani. Pesantren Tahfizd Al-Quran 30 juzz ini sudah ada di Aceh sejak 2012 lalu.
Suasana di pesantren ini jauh berbeda dengan pesantren-pesantren yang ada di Aceh. Pesantren besutan ustad-ustad lulusan Pondok Pesantren Sulaimaniyah yang berada di Istanbul Turki cukup tertata rapi bak hotel bintang lima. Seluruh lantai gedung ini terpasang hambal yang bersih dan semerbak harum seluruh ruangan.
Lantai satu selain dijadikan ruang administrasi, juga ada ruang tamu dengan sofa yang terbilang mewah berwarna merah kehitam-hitaman. Di depan pintu masuk, sudah menunggu dua santri sedang piket. Di atas meja piket itu, terletak dua bendera kecil, satu merah putih bendera bangsa Indonesia dan satunya lagi bendera bulan bintang bendera Negara Turki.
Sedikit melangkah ke selatan ruangan ada dapur yang bersih. Kembali ke arah timur terdapat garasi mobil yang sudah disulap menjadi ruang makan dengan kursi plastik warna biru selalu tertata rapi. Di ruang makan inilah, sebanyak 20 santri makan 3 kali sehari.
Mereka juga diberikan fasilitas tempat belajar dan tidur full Ac dengan ranjang bertingkat, fasilitas kesehatan, perlindungan, pendidikan Agama Islam, menghafal Al-Qur`an dan pendidikan bahasa asing yaitu bahasa Turki, bahasa Arab.
Abi Tajuddin Ince menyebutkan program pendidikan menghafal quran ini bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama yang berkeinginan untuk menghafal quran 30 juzz. Meskipun harus melalui proses seleksi yang ketat, namun semua memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di pesantren Sulaimaniyah.
Menariknya, belajar di pesantren ini, orang tua santri tanpa harus mengeluarkan biaya besar, cukup membayar Rp 500 ribu per tahun. Santri sudah mendapatkan fasilitas makan tiga kali, tempat tinggal full AC, kesehatan dan tempat belajar langsung di satu tempat.
Sedangkan bagi keluarga yang tidak mampu. Pesantren ini juga menggratiskan seluruh biaya. Santri tersebut hanya belajar, menghafal quran dan orang tunya tak perlu pusing memikirkan biaya.
Adapun menu yang disediakan cukup mewah. Ransum makan ayam halalan toyyiban seminggu 2 kali dan daging sapi atau kambing halalan toyyiban seminggu sekali.
Kenapa disebut halalan toyyiban, Abi Tajuddin Ince menyebutkan proses penyembelihan hingga memasak benar-benar diperhatikan sesuai dengan perintah hukum Allah.
"Susu tiap pagi. Jam istirahat siang teh Turki dan buah segar," jelas Rahmi Soraya, orang tua santri anaknya yang sudah hafal 30 juzz.
Sedang asyik berbincang, ada Muhammad Hamzah alumni Muharram Journalism Collage (MJC) (MJC adalah sekolah menulis yang digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh), Yulianda Wati Koordinator Komunitas Perempuan Anti Korupsi (KPAK) Aceh dan Abi Tajuddin Ince. Tiba-tiba masuk seorang laki-laki berkulit putih, kumis sedikit tebal tinggi semampai mengantarkan kopi bak pelayan caf yang professional.
Dia itu Abi Orhan Karayel. Staf pengajar di pesantren ini yang juga sudah hafal quran 20 juz. Ia mengantar kopi arabika Turki yang diseduhkan secara adat dan khas Turki.
Kepalanya tertunduk saat berhadapan dengan perempuan. Bahkan dia mengelak dan menolak saat Yulianda Wati mengajak berfoto bersama. Saat Muhammad Hamzah tetap hendak mendokumentasikan momen itu, malah Abi Orhan Karayel memilih memalingkan wajahnya dari sorotan kamera.
"Abi tidak mau melihat wanita, takut hilang hafalan 30 juzz quran yang telah dihafal," jelas Rahmi Soraya. Rahmi yang dipanggil ibu di pesantren tersebut sudah sejak lama bergabung di pesantren tersebut menjadi guru menjahit.
Pengakuan Rahmi Soraya yang juga alumni MJC ikut dibenarkan oleh Abi Tajuddin Ince. Abi mengaku, bagi yang telah menghafal quran tidak boleh ria dan takabur. Termasuk tidak boleh melakukan pelanggaran yang dilarang dalam agama Islam.
Bila sifat ria dan takabur serta melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam syariat Islam, sebut Abi lagi. Seseorang yang telah menghafal quran, meskipun sudah 30 juz, maka hafalan dia itu akan hilang tanpa membekas.
"Ada dulu waktu saya di pesantren di Turki, dia itu cerdas di atas rata-rata. Tetapi karena tidak patuh, akhirnya dia tak jadi apapun," sebut Abi Tajuddin Ince.
Pondok-pesantren Sulaimaniyah ini merupakan organisasi bergerak dibidang sosial keagamaan. Adapun tujuannya, sebut Abi Tajuddin Ince, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlakulkarimah. Sehingga peserta didik bisa bersaing dan memiliki pola pikir yang Islami di era globalisasi saat ini.
Di Aceh sudah ada empat perwakilan dan ada 200 santri lebih sedang belajar. Perwakilan itu ada di Gampong Punge, Darussalam, Peuniti di Kota Banda Aceh dan Blang Bintang di Kabupaten Aceh Besar. Hingga saat ini, ada 100 tenaga pengajar lulusan pesantren di Turki tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan di Aceh ada 20 tenaga pengajar.
Selain menghafal quran, sebut Abi Tajuddin Ince, pesantren Sulaimaniyah juga mengajarkan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya. Seperti Fiqih, Usul Fiqih, dan Ilmu Aqaid.
Ilmu pendidikan agama menjadi konsentrasi utama kurikulum di pesantren tersebut. Namun ilmu pengetahuan umum juga ikut diajarkan untuk menunjang pendidikan sekolah formal hingga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Setiap tahunnya kita ada mengirim peserta didik berprestasi dan yang hafal 30 juz untuk melanjutkan sekolah ke Turki," jelasnya.
Kendati demikian, Abi Tajuddin Ince menyebutkan, setelah tamat dari pesantren ini tidak diwajibkan untuk melanjutkan sekolah ke Turki. Akan tetapi diberikan kebebasan untuk menentukan melanjutkan pendidikan kemanapun.[merdeka.com]
Comments
Post a Comment