Jerit histeris dan
tangisan anak-anak memecah kesunyian pada Rabu (7/12/2016) subuh. Semua warga
sibuk menyelamatkan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Mereka amat panik.
Hari itu, Rahma
mengenakan jilbab hitam, baju terusan merah dengan motif bunga. Matanya
berkaca-kaca ketika dia mengingat lagi detik-detik antara hidup dan mati. Dia
sempat beberapa lama bertahan di bawah reruntuhan rumahnya di Gampung Kuta
Pangwa, Kecamatan Treinggadeng, Kabupaten Pidie Jaya.
Guncangan gempa
membikin rumahnya terbilang megah seketika rata dengan tanah. Dia juga harus
merelakan suami tercinta, Nazaruddin (45), dan dua anaknya, Hami (8) dan Hayan
Faham (4,5), meregang nyawa lantaran tertimbun.
Sedangkan anak
pertamanya, Aura (10), lolos dari maut karena sedang tak berada di rumah. Aura
saat kejadian nahas itu sedang berada di kediaman neneknya, yang bersebelahan
dengan tempat tinggalnya.
Suara Rahma terdengar
lirih. Sesekali bulir air mata menetes di wajahnya. Secepatnya dia hapus dengan
telapak tangannya. Terkadang dia terdiam. Pikirannya seperti melayang,
mengenang saat dia amat dekat dengan maut.
Usai tertimpa
material bangunan, Rahma mengaku setengah badannya terjepit dan berangsur mati
rasa. Dia juga kesulitan bernapas. Selain udara pengap, karena terkurung
reruntuhan, abu beterbangan dari beton yang rubuh membuat dadanya sesak.
"Sepuluh menit
lagi saja terlambat, saya bisa tidak selamat," kata Rahma kepada
merdeka.com.
Di saat kritis, Rahma
mengerahkan sisa-sisa tenaganya dengan berteriak sekuatnya meminta tolong. Baru
sekitar pukul 07.00 WIB datang pertolongan dari warga.
Rahma berhasil lolos
dari timbunan bangunan sekitar tiga jam kemudian. Setelah warga bahu membahu
memindahkan reruntuhan dengan peralatan seadanya, Rahma langsung dilarikan ke
rumah sakit. Rahma tidak mengalami cedera fisik, hanya gangguan kejiwaan karena
trauma setelah gempa.
Jasad mendiang suami
dan dua anaknya baru ditemukan setelah alat berat dikerahkan mengangkat
reruntuhan. Itu sekitar tengah hari. Jenazah ketiganya langsung dikubur dalam
satu liang lahat.
Rahma masih mengingat
saat itu. Sesaat setelah gempa, sang suami beranjak dari tempat tidur dan
hendak membuka pintu kamar. Sedangkan dia belum sempat bangun dari ranjang.
Di depan matanya,
Rahma melihat suaminya tertimpa tembok dan langsung raib di balik reruntuhan.
Sedangkan dia hanya terjepit. Sebab tembok menghimpitnya sedikit tertahan benda
lain di kamar itu.
Rahma mengatakan,
anak sulungnya trauma. Dia sengaja memindahkan Aura sementara ke rumah neneknya
di Kabupaten Bireuen.
Kini Rahma menatap
kenyataan. Dia hanya sendirian buat membesarkan anak pertamanya masih duduk di
kelas lima sekolah dasar. Dia tak mau larut dalam kesedihan.
"Semangat saya
sekarang demi membesarkan Aura. Dia harus bangkit. Hanya dia tinggal
satu-satunya yang paling berharga," ujar Aura.[]
Comments
Post a Comment