Cek Midi Selamatkan Manuskrip Hingga Jual Tanah

BAKATRAYA - Pria berkacamata ini sudah tak asing lagi namanya di Aceh, terutama mahasiswa sejarah. Tarmizi Abdul Hamid (45) yang akrap disapa Cek Midi merupakan satu-satunya di Aceh kolektor manuskrip kuno bukti peradaban Aceh masa lampau.

Semua manuskrip kuno disimpan di rumahnya yang terletak di komplek BIP, desa Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Rumah Cek Midi, selain mahasiswa sering juga dikunjungi oleh ilmuan dari mancanegara.

Ada 482 manuskrip kuno yang tersimpan rapi dalam lemari rumahnya. Koleksi miliknya ini sudah dikumpulkan sejak tahun 1995 lalu. Bermula 10 koleksi manuskrip kuno milik orang tuanya. Kemudian dia pun melanjutkan mengumpulkan manuskrip kuno sejak 20 tahun lalu. Banyak keluh kesah yang dialami Cek Midi selama kurun waktu itu.

Cek Midi sendiri bukanlah seorang jutawan memiliki banyak harta. Dia hanya seorang pegawai menengah Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Aceh dan juga bekerja di lembaga Majelis Adat Aceh (MAA). Tempat tinggal pun dia hanya memiliki sebuah rumah sederhana, bukan rumah yang mewah.

Pada tahun 2000 lalu, Cek Midi sempat mengalami krisis keuangan. Kondisi keamanan di Aceh saat itu tidak menentu. Konflik masih terjadi di Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Kotak senjata pun dimana-mana, korban kedua belah pihak tak dapat dihindari.

Sulitnya situasi saat itu membuat Cek Midi terhimpit ekonomi. Padahal ada manuskrip kuno yang hendak dibelinya, tetapi faktor himpitan ekonomi, hingga dia harus memutar otak agar manuskrip kuno itu bisa dibeli.

Karena tidak ada pilihan lain, hingga memaksakan dirinya menjual sebidang sawah seharga Rp42 juta pada tahun 2000 warisan orang tuanya. Tanah ini dijual untuk menyelamatkan manuskrip kuno yang berada di tangan masyarakat. Bila tidak segera dia beli, bisa dipastikan manuskrip ini akan berpindah tangan pada pihak yang tidak bertanggungjawab.

“Waktu itu masih konflik, saya harus menjual tanah sawah di kampung (asalnya dari Kabupaten Pidie), lalu dari hasil penjualan ini saya membeli manuskrip,” jelas Cek Midi.

Dari hasil jual tanah sawah tersebut, Cek Midi berhasil menyelamatkan 18 manuskrip kuno tersebut dan menjadi tambahan koleksi naskah kuno di rumahnya.

Bahkan Cek Midi mengaku kurun waktu 20 tahun telah banyak menghabiskan anggaran untuk mengumpulkan manuskrip kuno tersebut. Dia memperkirakan ada miliaran rupiah digelontorkan demi menyelamatkan indentitas Aceh melalui manuskrip kuno tersebut.

Hal lain yang membuat ia gelisah sekarang adalah bagaimana proses perawatannya. Bila tidak segera dilakukan restorasi semua naskah kuno tersebut, ditakutkan akan termakan usia dan akan rusak manuskrip tersebut dimakan usia.

Saat ini hanya 200 dari 482 manuskrip yang sudah dilakukan restrorasi atas bantuan dari Jepang. Justru mereka, kata Cek Midi sangat antusias memperbaiki agar manuskrip kuno ini tidak rusak dan bisa bertahan lama.

“Seharunya manuskrip kuno ini harus ada tempat khusus penyimpanan dengan suhu tertentu, tetapi saya sendiri belum memiliki dana untuk membeli peralatan khusus,” tukasnya.

Bahkan, Cek Midi ada berencana untuk mendigitalkan seluruh manuskrip kuno miliknya. Sehingga siapapun yang ingin membaca, membuat penelitian untuk kepentingan pendidikan bisa diakses secara online.

Namun lagi-lagi terkendala dana yang terbatas. Untuk mendigitalkan seluruh manuskrip kuno miliknya ini membutuhkan peralatan dan dana yang besar. “Sekarang saya belum mampu untuk mendigitalkannya, saya sangat berkeinginan sebenarnya,” tutupnya.

Agar semua manuskrip koleksinya awet dan terawat dengan baik terhindar dimakan rayap. Cek Midi setiap bulannya membersihkan manuskrip kuno koleksinya dengan peralatan sederhana. Menggunakan kuas dan beberapa peralatan sederhan, ia merawatnya tanpa pamrih.[acl]

Comments