Foto Internet |
Pesan singkat itu dikirim oleh seorang teman. Dia merupakan jurnalis dari sebuah koran lokal di Aceh. Bagi jurnalis Aceh, kasus Punk bukan hal biasa. Isu Punk merupakan santapan media Lokal, Nasional dan bahkan sempat heboh sampai media Internasional.
Pernah pada Desember 2011 kemarin, para Punker ditangkap dan dididik di Markas Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah. Dunia gempar. Media-media internasional memburu berita itu dari segala aspek. Wajar saja semua media memburu berita itu, pasalnya mereka diperlakukan tidak wajar, mereka digundulin, yang perempuan rambutnya dipotong kemudian dididik ala militer.
Bahkan khasus ini mendapatkan kecaman dari berbagai komponen yang pro-Punk. Akan tetapi tidak sedikit juga yang memprotes keberadaan Punk dan mendukung pembinaan tersebut. Alasannya mereka itu bukan budayanya Aceh dan mereka harus dikembalikan hidup normal.
Itu pula kenapa saya tidak menunggu lama untuk mencari tahu lebih jauh mengenai kabar tersebut. Sumber yang paling sahih tentunya pihak Satpol PP dan WH. Tiba di Kantor Satpol PP dan WH Banda Aceh, para pegawai setempat seakan mampu membaca tujuan saya.
"Ada anak Punk ditangkap itu diatas," kata salah seorang petugas Satpol PP.
Di pojok lantai dua kantor tersebut, seorang laki-laki berjenggot terlihat sedang berceramah. Tingginya semampai. Memakai peci berwarna putih. Bicaranya pelan. Lima pemuda belia manggut-manggut mendengar kata-katanya. Kepala tertunduk tidak memandang wajah penceramah tersebut.
Para pemuda itu (anak punk) khas dengan penampilannya. Baju seadanya, rambut jingkrak, bahkan dicat berwarna pirang. Kemudian ada juga celana yang terkoyak di lutut dan beberapa tempat lainnya. Di tubuhnya ada beberapa tato terutama dibahunya. Khabarnya tato itu memang menjadi khasnya mereka.
Kesan pertama memang ketika bertemu langsung dengan kelompok Punk terkesan lusuh dan langsung yang terbayang dalam pikiran seseorang mereka itu kriminal, pelaku kejahatan, anak jalanan, tidak berpendidikan dan bahkan yang lebih pahit lagi, mereka dituding anak yang tidak bahagia dalam keluarga.
Itulah kesan banyak orang ketika penilaian sesuatu dari sudut pandang simbol. Banyak terjebak dengan simbol-simbol yang tampak dipandang dengan kasat mata. Namun, tidak pernah mengkaji lebih mendalam yang lebih kritis dan radikal.
Lalu, saya pun mencoba untuk mendekati mereka, tentunya untuk menumbuhkan kepercayaan mereka, pada awalnya hanya diskusi-diskusi ringan dan sebelumnya perkenalkan bahwa saya seorang Jurnalis. Beberapa wartawan lain juga ikut nimbrung bersama mereka, lalu saya bertanya perihal mengapa mereka diaingkap.
"Kami ditangkap karena anak Punk,"kata salah seorang anak Punk yang kemudian saya kenal namanya David.
Panjang lebar terus bercerita, tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul 13.30 Wib. Mereka pun diantar nasi bungkus oleh Satpol PP untuk makan siang. Sambil mereka makan, terus bercerita, sesekali ia meneguk air minum. Tidak ada gelas yang tersedia, air minum hanya di isi dalam kantong plastik.
Setalah mereka selesai makan, masih tetap terus bercerita sambil sesekali ia menghisap rokok kretek, kadang-kadang menghembuskan asap dari mulutnya. Seakan-akan hembusan asap tersebut ingin melepaskan kepenatan sejak pagi duduk dalam ruangan kecil.
Ternyata dari cerita panjang tadi, keluar ungkapan dari mulut David bahwa mereka bosan dengan sikap kehidupan yang hedonis, ingin kebebasan, bahkan mereka menuturkan bosan dengan kehidupan yang semakin individualistik. Semua sekarang lebih mementingkan dirinya sendiri diatas kepentingan umum. Sikap sosial saat ini sudah terkubur, entah kemana sekarang berada. Itulah era globalisasi yang mematahkan setiap sendi-sendi kehidupan sosial, semua tertutup demi untuk terus mementingkan diri sendiri dan bahkan kelompoknya sendiri, kehidupan kolektif hanya menjadi mimpi. Sekarang Punk ingin mencari jalan lain untuk mencoba hidup secara kolektif.
Luar biasa, itu gumamku dalam hati. Sungguh menyentuh pikiranku saat itu. Saya tidak menyangka mereka ternyata tidak seperti saya bayangkan. Mereka cerdas, tahu pokok persoalan Bangsa yang saat ini sedang dilanda krisis multidimensi. Terutama dalam hal akses sosial, ekonomi dan politik.
Sambil kembali membakar sebatang rokok kretek pemberian salah seorang fotografer media cetak, David yang memiliki rambut ala Bob Marley terus bercerita. Bahkan ia mengaku telah melalangbuana bukan hanya di Aceh. Hampir seantero Indonesia ia telah pergi hanya sekedar ingin berkumpul dengan sesama Punk.
"Saat ini Negara kita sedang menuju Negara Neoliberalisme, terjadi pemiskinan secara sistematis, buruh dibayar murah, mereka terus dieksploitasi tenaganya untuk kepentingan pemilik modal. Lihat Kuba, mereka bisa hidup setara, pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja terbuka, akses modal mudah, pelayanan publik bagus dan yang lebih penting Kuba sangat menghargai nyawa dan melindungi setiap penduduknya.”
Lalu saya kembali bertanya, apa yang kalian cari dengan sikap seperti ini sekarang. Hidup di jalanan, pakaian terkesan seperti pelaku kriminal dan bahkan terkesan seperti orang tidak berpendidikan. Padahal kalian itu memiliki keluarga dan orang tua yang mapan secara ekonomi.
Dengan tenang, sambil tersenyum dan dengan gaya khasnya menarik dalam-dalam rokoknya, David menjawab. "Pada dasarnya, anak Punk ada dimana-mana, Punk jangan hanya dilihat dari cara berpakaian, tetapi Punk itu perjuangan, Punk itu bukan Sytle."
"Kalau dikatakan Punk itu kriminal, pertanyaannya, siapa yang lebih kriminal bagi pelaku korupsi di tanah air kita sekarang? Berapa banyak mereka telah merugikan rakyat. Namun, apa yang terjadi, mereka tetap bisa duduk santai di dalam ruangan yang adem, bahkan tidak tersentuh hukum. Padahal sudah jelas-jelas politisi tersebut menjadi aktor utama. Akan tetapi, mereka itu tetap dilindungi, pertanyaan saya siapa yang lebih kriminal? Punk kah atau mereka para pelaku Korupsi?
Memang apa yang David ceritakan merupakan realitas yang tidak bisa dibantah saat ini. Ada orang yang mau menegakkan kebenaran, dihancurkan, seperti Munir dibunuh. Munir diracun karena sangat gentol mengkampanyekan penegakan HAM di Indonesia. Ada banyak juga lainnya saat ini bernasib serupa.
David menyambung cerita. "Kami ini bukan kriminal, kami ini sekumpulan orang yang ingin hidup kolektif, merasakan pahit getirnya kehidupan ini secara bersama-sama. Kami tidak pernah menggangu orang lain, demikian juga apa yang dituduhkan kami meresahkan warga, itu semua tidak benar. Kami berpakaian seperti ini bukan hanya style, tetapi ini bentuk dari perlawanan kami yang anti kemapanan hidup hedonis borjuis kapitalistik saat ini."
"Punk itu perjuangan,"kata David kembali. "Punk itu ideoligis, bukan sekumpulan gerombolan yang hanya pintar membuat keonaran. Kami tidak pernah menggangu orang lain, apa lagi membuat ketertiban umum terganggu."
Kembali timbul pertanyaan dalam benak saya, Punk-kah yang kriminal? Atau pelaksana Negara ini yang layak dilabelkan kriminal ketika terus menggrogoti uang rakyat ibarat tikus memakan lumbung padi petani miskin di pedesaan? Entahlah.
Tulisan ini pernah dimuat di TGJ
Comments
Post a Comment