Na Chiet Ureung, Dikerja Hana. Peng Ditamong. Peu Peng Nyan?'

ilustrasi kemiskinan / internet
BAKATRAYA - Semangat seorang kakek yang sudah dimakan usia ini tak pernah surut untuk bertahan hidup. Kulitnya sudah keriput, hitam, rambutnya sudah uban. Ia dengan sabar duduk bersimpuh keringat dibawah terik menteri menunggu pembeli dagangannya.

Hiruk pikuk ribuan kenderaan lalu-lalang setiap detiknya tidak membuat kakek berusia 85 tahun ini berhenti mengais sisa-sisa rezeki dari orang lain.

Meskipun sesekali ia harus membasuh keringatnya dengan sehelai handuk kecil yang sudah kusam. Namun, pancaran cahaya optimis terus terpancarkan dari raut wajahnya.

Ibarahim, itulah nama seorang pria yang memiliki 15 orang cucu dan 2 orang cicit.

Diusianya yang sudah renta, harusnya ia beristirahat di rumah. Namun, akibat terbelit kemiskinan, ia terpaksa harus banting tulang hanya sekedar bisa mencari sesuap nasi untuk dia dan istrinya.

"Ginilah hampir setiap hari saya jualan. Anak saya juga jualan seperti ini. Dari pada saya mengemis," tukas Ibrahim saat The Globe Journal menemuinya Senin (26/11/2012) penuh optimis.

Panasnya matahari dan polusi udara dari asap kenderaan, tidak membuat pria yang memiliki 7 anak ini mengeluh. Ia tetap optimis bisa menundukkan kejamnya kehidupan di era serba bebas ini.

Ia tidak peduli apa kata orang menyangkut profesinya. Yang terpenting baginya bisa bertahan hidup dan tentunya halal.

Sehari-harinya ia ditemani oleh sebuah sepeda bututnya yang sudah karatan. Ia kayuh setiap harinya dari gampong Pango ke simpang Surabaya. Jaraknya diperkirakan mencapai 4 Km.

Namun diusianya yang sudah uzur, tetap masih kuat untuk mengayuh sepedanya menuju ke lokasi ia mencari sesuap nasi.

Diantara gedung mewah yang ada di simpang Surabaya. Terlihat Ibrahim duduk sendiri diatas trotoar.

Memang keberadaannya sedikit menyita perhatian setiap pengenderaan yang lewat. Tak sedikit pengenderaan berpaling melihat kakek renta itu sedang duduk termenung sembari menghisap rokok daun nipah.

Tidak ada kios, tidak tempat atau rak selayaknya tempat jualan rempah-rempah kebutuhan memasak seperti di pasar Peunayong. Hanya ada sehelai terpal ia bentangkan diatas tanah beratapkan langit.

Deraan hujan bukan rintangan menghentikan ia berjualan. Ia tetap menjajakan dagangannya meskipun ia harus berteduh kala hujan tiba.

Dulu katanya, ia pernah memiliki tempat jualan di Keudah. Namun terakhir digusur oleh Pemerintah. Sehingga ia kehilangan tempat jualan. Mulai saat itulah ia berjualan di trotoar.

Barang dagangannya pun tidak banyak. Hanya beberapa tumpuk timun, tomat, cabe merah, cabe rawet, jeruk nipis dan juga kacang panjang yang telah diikat-ikat. Harga tidak mahal sebagaimana yang telah dilebelkan di supermarket.

Cukup merogohkan saku Rp.5000, sudah bisa membawa pulang setumpuk dagangan Ibrahim.

“Nyeu ujen lon mita tempat hana ujen. Barang inan laju, ata hana peu nyeu basah (Kalau hujan, saya cari tempat berteduh. Barang biar disitu, karena memang tidak masalah kalau basah-Red),” jelasnya kembali sembari membalut rokok nipahnya. Sangat cekatan jari-jari kasar Ibrahim membalut rokok nipah tersebut.

Ia tidak berharap banyak dari hasil dagangannya. Bagi Ibrahim, bisa makan sehari tiga kali sudah jauh lebih cukup. Hal yang terpenting baginya, penghasilan yang ia dapatkan melalui proses yang halal.

Ada hal yang sedikit menggelitik. Sindiran ringannya terhadap “pengemis berdasi”. Pasalnya, ada orang yang tidak bekerja, namun mendapatkan uang banyak, kata Ibrahim.

Entah untuk siapa sindiran itu dialamatkan oleh Ibrahim. Namun, bagi kakek renta ini, semua pendapatan yang didapat bukan haknya, tentunya nanti di akhirat akan dipertanggungjawab dihadapan Allah.

Justru itu ia bersyukur bisa berjualan seperti ini. Meskipun mendapatkan uang sedikit, tetapi hasil keringatnya sendiri. Penghasilannya memang tidak menentu, namun ia bisa mengumpulkan uang setiap harinya bersih Rp.30.000, sudah cukup untuk menutupi kebutuhan hidup bersama istrinya.

“Na chit ureung, dikerja hana. Peng di tamong. Peu peng nyan? (Ada orang tidak bekerja. Tapi dapat penghasilan. Uang apa itu? - Red),” tanya Ibrahim.

Lebih baik seperti ini, tandasnya lagi, yang terpenting halal apa yang ia makan.

Bukan berarti dia tidak pernah berusaha mencari bantuan modal pada Pemerintah. Justru beberapa kali ia pernah mencoba. Tapi sangat disayangkan, ia terlanjur percaya pada makelar.

Tak pelak, ia kerap ditipu oleh agen tersebut. Bahkan akuinya lagi, sering kali diminta sejumlah uang untuk biaya pengurusan. Namun, setelah uang diambil, dana bantuan yang dijanjikan tidak kunjung ada. Bahkan makelar itu lenyap entah kemana.

Perbincangan kami pun kadang-kadang terhenti sejanak. Karena ia harus melayani pembeli. Tidak sedikit pembeli hanya bertanya dan melihat saja. Sehabis itu calon pembeli tersebut mengurungkan niatnya untuk membeli.

“Meuhai dipeugah (Mahal dibilang - Red),” kata Ibrahim saat saya menanyakan kenapa beberapa orang calon pembeli tidak jadi membeli. Namun, bagi kekek tua ini tidak merasa kecewa. Rezeki, katanya, semua telah diatur oleh Allah.

Urusan ditipu sama orang, kisahnya kembali, sudah sangat sering menimpa kakek yang sudah renta ini. Bahkan hal yang sangat miris. Pernah suatu kali ia dicopet oleh dua orang pemuda yang semula pura-pura membeli.

Lalu, secara tiba-tiba salah seorang pemuda tersebut merampas uang yang ada ditangannya senilai Rp. 2 juta. Kejadian ini, menjelang megang hari raya Idul Fitri tahun 2012. Padahal uang tersebut dikumpulkan untuk menghadapi lebaran.

“Semua dicopet, gak ada lagi modal saya,” kenangnya.

Inilah secuil potret kehidupan warga Aceh yang masih miskin ditengah-tengah hingar-bingarnya perdebatan Qanun Lambang Aceh dan Qanun Wali Nanggroe.

Akankah qanun tersebut bisa menjawab kesejahteraan rakyat seperti Ibrahim? Biarkan waktu yang menjawab!

Tulisan ini pernah dimuat di TGJ

Comments