May Day Harus Menjadi Tonggak Perubahan

foto internet
BAKATRAYA – Buruh tak ubahnya seperti sapi perahan yang dipelihara oleh pemiliknya, kemudian susunya diperas untuk didagang. Sedangkan sapi tersebut hanya berproduksi dan diberikan makan untuk keberlanjutan dan produktifitas untuk menghasilkan susu.

Kemudian setelah sapi perahan ini sudah tidak lagi produktif, semua akan disembelih untuk kebutuhan permintaan daging di pasar yang kian meningkat. Bahkan sangking banyaknya permintaan daging, pemerintah terpaksa harus mengimpor sapi.

Potret ini tidak berbeda jauh dengan nasib buruh baik di Indonesia maupun dibelahan dunia. Namanya juga buruh, kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi, hanya mengandalkan tenaga maupun keahliannya untuk mendapatkan pendapatan.

Buruh diera globalisasi masih saja termarjinalkan, baik dalam mendapatkan akses kesejahteraaan, maupun mendapatkan pelayanan hukum yang setara. Malah mereka terus dikuras dan diekploitasi demi kepentingan pemilik modal dan terus digilas atas kekejaman pelipatan gandaan modal kapitalisme.

Kondisi ini masih saja terjadi dibanyak negara, terutama Indonesia yang merupakan negara dunia ketiga. Terjadinya tarik ulur menyangkut dengan regulasi menunjukkan masalah buruh masih menjadi persoalan krusial yang harus diperjuangkan menuju perubahan yang lebih baik, khususnya di Indonesia. Karena Indonesia saat ini masih saja menjual harga upah murah pada investor dan juga sistem Outscourcing.

Momentum May Day merupakan kebangkitan hari buruh internasional jangan hanya menjadi ajang pesta serimonial belaka. Turun aksi, orasi dan kembali kedalam pabrik tempat bekerja.

Tetapi harus ada kesinambungan gerakan mendesak pemerintah untuk memperlakukan buruh yang setara dengan pemilik modal. Setidaknya buruh mendapatkan akses modal dan mendapatkan kesejahteraan yang layak.

“Perayaan May Day kalau hanya serimonial belaka tidak mempunyai arti sama sekali, kalau tidak diikuti sebuah tindakan yang nyata untuk terus mengingatkan Pemerintah serta memperjuangkan nasib buruh sendiri. Serta mendorong Pemerintah untuk mengaplikasikan sistem hukum Indonesia yang pro-terhadap buruh. Artinya momentum May Day harus menjadi tonggak perubahan nasib buruh yang lebih baik dimasa yang akan datang, bila tidak, perayaan May Day tersebut tidak ada arti sama sekali”, tegas Heribertus Jaka Triyana Dosen Fakultas Hukum Internasional UGM melalui telephon Senin (30/4).

Pasalnya, sebelum terjadi protes besar-besar pada tanggal 1 Mei 1886, buruh dipaksa bekerja 15 jam sehari tanpa mendapatkan upah layak, buruh dianggap hewan peliharaan yang bisa dipekerjakan seenaknya oleh pemilik Industri.

May Day yang kemudian dikenal istilahnya, dimana tragedi yang sangat bersejarah tersebut terjadi di AS dan juga di Haymarket Chichago. Lebih dari 350.000 buruh turun ke jalan untuk memprotes kebijakan jam kerja yang diberlakukan 15 jam, dan menuntut diberlakukannya 8 jam kerja sehari. Meskipun tuntutan ini harus dibayar mahal dengan banyaknya korban di pihak buruh dan dijebloskan kedalam penjara.

Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh Internasional tersebut. Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet.

Sesudah dewasa menghadiri lagi peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC, pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma.(wikipedia)

Namun pada saat Orba berkuasa May Day diharamkan oleh pemerintah, dan buruh pun tidak bisa menggunakan momentum tersebut sebagai hari buruh Internasional di Indonesia. Pasalnya Pemerintah beranggapan May Day tersebut erat kaitannya dengan Komunisme dan juga G30S. Padahal May Day tersebut telah dirayakan oleh seluruh negara, tak terkecuali negara yang anti-Komunisme.
Kondisi buruh dibanyak negara masih sangat memprihatinkan, terutama regulasi yang masih menghambakan pada kapitalisme yang sering sekali regulasi buruh dipengaruhi oleh pemilik modal. Sedangkan buruh terus diekploitasi tenaganya untuk kepentingan melipatkan gandangan keuntungan yang besar para kapitalis itu sendiri.

Contohnya ada intervensi pemilik modal adalah dengan diberlakukannya sistem outscourcing pada buruh yang jelas-jelas sangat menguntungkan pemilik modal.
Hal ini akan menyebabkan penderitaan bagi kaum buruh baik migran maupun buruh lainnya. Alih-alih bicara kesejahteraan, justru mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan tetap memperlemah pihak buruh itu sendiri untuk mendapatkan akses keadilan. Baik keadilan dalam mendapatkan kesejahteraan, akses pendidikan, kesehatan dan sandang papan lainnya.

Menglihat fenomena ini, Aryos Nivada Mahasiswa Pasca Sarjana UGM ikut angkat bicara menyikapi kondisi buruh yang carut marut selama ini. May Day yang terkesan serimonial belaka selama ini harus dirubah polanya untuk memperjuangkan tepat pada akarnya. Masalahnya terletak di hubungan industrial yang dihadapi buruh saat ini bersumber dari sejumlah produk hukum.

Lanjutnya lagi, ada hal yang lebih krusial harus diperhatikan dalam semangat hari Buruh tersebut. Seluruh stakeholder, terutama pemerintah harus memperhatikan sejauh mana regulasi yang tidak merugikan buruh, terutama buruh migran yang kerap mendapatkan diskriminasi saat bekerja.

“Secara umum buruh di Indonesia saat ini sudah membaik, indikatornya pemerintah telah meratifikasi konvensi ILO yang merupakan inti standar perubahan. Namun pada tataran empiriknya memang masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terutama pada level pengusaha kecil dan menengah,” tegas Restu Rahmawati Dosen Universitas Hubungan Internasional di Universitas Majalengka Jawa Barat dan Juga Mahasiswa Politik Pasca Sarjana UGM .

Menurut data yang dihimpun theglobejournal, buruh kerap mendapatkan diskriminasi khususnya buruh migran. Apa lagi buruh migran didominasi oleh perempuan yang dikirim keluar negeri untuk dipekerjakan baik sebagai buruh industri maupun pembantu rumah tangga.

Hal ini berdasarkan laporan dari LBH Buruh Migran IWORK laporan kasus dari Buruh Migran Indonesia (BMI) dan anggota keluarganya sebanyak 43 kasus, hilang kontak adalah kasus terbanyak yang sering ditangani, selain kasus penipuan pemberangkatan ke Korea sebanyak 13 korban, dan gagal berangkat ke Abu Dhabi sebanyak 31 orang. Dan satu kasus kematian BMI perempuan korban trafficking atas nama Sri Puji Astuti yang sejak kematiannya pada bulan Mei 2008 hingga kini belum diketahui keberadaan jenazahnya.(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)

Selanjutnya data berdasarkan Dirjen PPTKLN, Depnakertrans RI, 2001 persentase perkembangan jumlah buruh migran perempuan ditinjau dari periode 1975 (22%), 1987 (67%), 1998 (69,55%), 2000 (68,3%). Sedangkan Philipina pertumbuhan buruh migran, khusus perempuan berbanding tipis dengan Indonesia. Berdasarkan data dari Philippines Overseas Employment Agency, Department of Labour, 2001. Pada tahun 1975 (12%), 1987 (47%), 1998 (64%), 2000 (68,7%)..(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)

Kemudian, pada tahun 2008 LBH-BM IWORK mencatat 552 BMI meninggal dunia, paling banyak BMI di Malaysia sebanyak 481 orang, lalu BMI di kawasan timur tengah sebanyak 30 orang, Hongkong, Korea dan Taiwan sebanyak 10 orang, dan 5 BMI di Singapura. Angka ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Untuk di Malaysia dari analisis data yang IWORK lakukan, mayoritas penyebab kematian BMI adalah buruknya kondisi dan keamanan lingkungan kerja. .(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)

Hal ini semakin menunjukkan bahwa perkembangan buruh di Indonesia berkembang pesat dari tahun-ketahun, khususnya buruh migran yang didominasi perempuan. Oleh sebab itu Pemerintah sudah sepatutnya benar-benar memperhatikan menyangkut dengan kesejahteraan dan keselamatan mereka dalam bekerja. Karena mayoritas korban akibat lemahnya sosial kontrol dari Pemerintah dan lemahnya regulasi perlindungan buruh, sehingga banyak terjadi masalah sampai pada tindak kekerasan dialami oleh buruh Indonesia.

Ada banyak persoalan yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia. Krisis multidemensi membuat semua kebijakan masih saja belum maksimal melindungi para pekerja. Hal ini juga akibat Pemerintah masih sangat tunduk pada kondisi pasar dan liberalisme, sehingga terjadi pemiskinan buruh secara masal. Apa lagi akhir-akhir ini dengan sebuah kebijakan berencana mencabut subsidi BBM, akibatnya bahan pokok meningkat drastic, namun Pemerintah tidak mengimbangi dengan tingkat produktifitas buruh.

Restu, kembali menjelaskan saat theglobejournal mewawancara via facebook, hal ini dikarenakan strategi kebijakan pemerintah masih menerapkan politik upah murah, menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel, dan desentralisasi sehingga hal tersebut berpotensi memiskinkan buruh.

Terkait buruh migran ungkapnya lagi, Pemerintah harus terus berupaya melakukan pemantauan ke level bawah, terutama pada level pengusaha kecil dan menengah. Selain itu menghimbau Pemerintah untuk meningkatkan sistem, guna mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Dan kepada pengusaha baik itu level kecil, menengah, maupun besar harus menerapkan dan memperlakukan prinsip keadilan kepada seluruh buruh.

Hal ini semakin memperjelas bahwa, buruknya pelayanan dan keselamatan buruh akibat dari regulasi yang tidak pro-buruh. Regulasi masih tetap saja tunduk patuh pada sistem pasar. Indonesia diakui atau tidak, sudah menganut sistem Neoliberalisme dimana semakin sedikit Negara mencampuri kebijakan pada pasar, tetapi ekonomi itu dilepas bebas dipasar, sehingga yang kuat modal akan menguasai pasar dan yang lemah modal akan terguras oleh keserakahan Pasar Bebas tersebut. Pemerintah tidak sedikitpun melakukan proteksi pasar yang seharusnya melindungi ekonomi dalam Negeri supaya jangan dibiarkan bertarung bebas. Tentunya kondisi ini yang sangat diuntungkan adalah pemilik modal yang kuat.

Lihat saja intervensi regulasi yang sangas tampak nyata saat pembahasan RAPBN-Perubahan yang berencana mencabut subsidi BBM. Hal ini jelas-jelas bahwa Negara sedang mempraktekkan sistem pasar Bebas, dimana BBM didalam Negara akan diserahkan pada mekansisme pasar. Bila BBM dalam negeri terus disubsidi, maka Pertamax dan Petronas yang harganya lebih mahal akan ditinggalkan oleh konsumen dan semua akan beralih pada BBM yang bersubsidi. Disinilah ada korelasi bahwa praktek tersebut merupakan ada intervensi pasar.

Contoh lain lagi, Indonesia tidak meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) harus diakui lebih banyak berkutat pada aspek pengaturan penempatan buruh migran secara administratif semata", pungkas Aryos.

Sehingga lanjut Aryos lagi, dampak dari UU perburuhan di Indonesia yang tidak pro kepada buruh semakin melemahkan standar kesejahteraan hidup para buruh. Ketika kebijakan Pemerintah Indonesia menaikkan harga kebutuhan dasar seperti sembako dan BMM. Tidak selaras dengan kebijakan menaikkan upah buruh, hal ini semakin mengencangkan "ikat pinggang"-nya karena upah yang mereka terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan pokok.

Merujuk dari semakin meningkatnya persoalan pada buruh, sudah sepantasnya Pemerintah dan berbagai stakeholder lainnya untuk lebih fokus dan prioritas menyelesaikan segala problematika itu. Saatnya sekarang buruh harus ditempatkan pada posisi layak dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.

“Pemerintah harus transparan dan terukur dalam membuat kebijakan yang tentunya harus berpihak pada buruh. Baik itu kebijakan dalam produk hukum, kebijakan buruh secara nasional dan juga harus ada program-program yang jelas untuk meningkatkan kualitas maupun kesejateraan buruh dimasa yang akan datang”, tegas Heribertus.

Heribertus, menambahkan, Pemerintah juga harus mampu menerjemahkan setiap kebijakan yang bermuara pada kepentingan buruh kedalam Undang-undang. Jangan sampai terjadi overleping kebijakan yang akan sangat merugikan para buruh itu sendiri. Intinya, momentum May Day harus dipergunakan oleh buruh dan Pemerintah untuk memperbaiki baik regulasi maupun menyangkut hal lainnya. Jangan hanya sebatas serimonial belaka, karena tidak berimplikasi langsung pada kebijakan untuk merubah nasib buruh.

Tenaga Kerja Hal Penting Maju Mundurnya Negara

Tenaga kerja merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu bangsa, dimana maju mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan pada tenaga kerja itu sendiri. Oleh karenanya sudah saatnya buruh mendapatkan perlindungan hukum yang harus Pemerintah prioritaskan, karena mereka merupakan tulang punggung Bangsa dalam memutarkan roda ekonomi. Bila kaum pekerja macet, tentunya seluruh roda ekonomi akan macet dan akan berakibat fatal sebuah Negara. Karena akan terhenti produksi sedangkan permintaan barang terus meningkat dipasar. Jadi buruh tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Pemerintah, jangan hanya mementingkan kepentingan Pemilik Modal diatas kepentingan buruh.

Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan lapangan kerja masih jauh dari yang diharapkan, jelas Aryos, apalagi dengan adanya permasalahan pemerintah lainnya mengakibatkan konsentrasi pengembangan lapangan kerja bukan menjadi skala prioritas. Wal hasil tidak memberikan efek penurunan angka pengiriman tenaga kerja atau buruh migran ke luar Negeri. Jika keadaan seperti ini dibiarkan lebih lama, berdampak kepada ketidakseimbangan dalam masyarakat menjadi sedemikian parah.

Di Indonesia saat ini ada 120 juta orang buruh (lokal-migran) yang didominasi oleh kaum perempuan sebesar 65%. Jadi kembali perempuan yang masih dianggap kelas kedua mengalami penderitaan akibat dari kebijakan Pemerintah yang tidak pro-buruh.

Jadi, bila pada May Day jutaan buruh turun kejalan menuntut hak-haknya tidak bisa disalahkan. Karena mereka memang sedang mengalami degradasi kepercayaan pada wakilnya di Legeslatif bisa memperjuangkan aspirasinya. Akibat itu, buruh turun ke jalan sebagai wadah penyampaian aspirasinya yang dilindungi oleh Undang-undang sebagai alternatif penyampaian aspirasinya.

Tak pelak gerakan ini kadang kala membuat Pemerintah gerah dan pusing menghadapi arus masa gerakan buruh. Membuat gerah Pemerintah itu bukan tidak beralasan. Pemerintah beranggapan bila terjadi aksi buruh besar-besaran akan berakibat terganggunya iklim investasi didalam Negeri. Investor akan membatalkan melakukan investasi bila situasi keamanan tidak terkendali, dan buruh terus menerus malakukan demontrasi.

Akibatnya, Pemerintah mencoba mancari jalan pintas untuk meredam demontrasi dengan melakukan tindakan refresif. Peserta aksi ditangkap, bahkan dipukul serta diperlakukan seperti musuh. Tak jarang demontrans ditembak baik dengan peluru karet maupun kadang kala juga ada peluru tajam. Meskipun sering kali pihak keamanan selalu berkilah saat adanya peluru tajam tersebut.

Padahal bila lebih kritis menglihat pokok persoalannya, itu semua terletak pada Pemerintah sendiri yang menciptakan iklim tidak setara antara pekerja dengan pemilik modal. Dimana sering sekali buruh mendapatkan perlakuan diskriminatif, regulasi pun kerap kali lebih menguntungkan pemilik modal. Kalau pun buruh melakukan anarkisme dan gangguan keamanan, itu tidak semuanya salah buruh. Bila hal itu tidak ingin terjadi, maka Pemerintah harus memenuhi kebutuhan yang layak bagi buruh. Berapa besar gangguan keamanan saat buruh tidak bisa mendapatkan akses keadilan, baik memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan juga kebutuhan dasar lainnya.

Kalau demikian adanya, siapa yang patut disalahkan? Salahkah buruh turun kejalan menuntut haknya? Sedangkan dalam UUD 1945 mengamanahkan pada Negara untuk melindungi rakyatnya dan Negara diperintahkan untuk menciptakan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonsesia".

Hal ini seperti dijelaskan Oleh Restu Dosen Universitas Majalengka Jawa Barat. Dengan adanya diskriminasi, lalu tidak berlakunya kode etik perburuhan Internasional (ETI) di Indonesia, maka tidak salah ketika para buruh melakukan pergerakan untuk memperjuangkan aspirasi mereka kepada Pemerintah. Dan apabila terjadi diskriminasi, para buruh diharapkan segera melapor. Supaya ditindak lanjuti, jangan sampai karena meraka takut dipecat akhirnya cuma diam saja. Jadi lebih baik melaporkan demi perbaikan regulasi perburuhan kedepannya.

Persoalan buruh di Indonesia ternyata masih sangat jauh dari harapan yang sesuai dengan amanah konstitusi. Diskriminasi diberbagai hal masih tetap saja dialami oleh buruh lokal maupun migran. Oleh karena perlu adanya sebuah terobosan yang tepat dilakukan oleh Pemerintah menjawab problematika yang sangat sistemik ini.

Sudah saatnya harus mengoptimalkan pembuatan aturan yang berpihak pada buruh dan implementasinya harus benar-benar dilaksanakan oleh Negara. Selanjutnya juga Pemerintah harus meningkatkan kapasitas para Buruh, supaya memiliki nilai tawar ditempat buruh bekerja. Yang paling utama adalah sejauh mana Eksekutif dan Legeslatif memiliki perspektif yang sama dalam menglihat persoalan buruh saat ini.

Hal ini seperti penegasan yang disampaikan oleh Dosen UGM Heribertus, “harapannya Pemerintah harus mampu menyatukan perspektif antara Eksekutif dan Legeslatif”.

Heribertus, lanjutnya, Baik itu Legeslatif yang membuat peraturan maupun Eksekutif yang mengeksekusi kebijakan harus memiliki satu pemahaman dalam memandang untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di Indonesia. Demikian juga buruh harus bersatu padu terus mengingatkan Pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang adil pada buruh dimasa yang akan datang.

Disisi lain, Pemerintah harus tegas menindak setiap Perusahaan atau Negara yang memarjinalkan buruh. Negara harus berani bersikap menindak sesuai prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Dan juga harus memperkuat koordinasi dengan instasi terkait seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri.

Menurut informasi yang theglobejournal dapatkan dari beberapa sumber, hari ini selasa (1/5) Serikat federasi buruh dan beberapa organisasi buruh yang ada di Jabodetabek akan menurunkan lebih dari 100 ribu buruh ke jalan untuk menuntut hak-haknya. Dan aksi masa ini sudah sambut oleh pihak kepolisian dengan mengerahkan 2/3 kekuatan yang ada di Jabodetabek, artinya sebanyak 11686 personil polisi akan disiagakan saat demontrasi berlangsung, seperti disampaikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Saud Usman di wawancara TV One Senin malam.

Semoga dengan momentum hari yang sangat bersejarah ini bisa menggerakkan kebijakan Pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib buruh saat ini masih jauh dari harapan kesejahteraan. Jangan sampai rakyat Indonesia kedepan “menjadi budak di Negeri sendiri” dan jangan menjadi “perantau ditanah air sendiri”. Harapan demi harapan itu akan tabu bila buruh tidak terorganisir dengan rapi dalam membangun gerakan.

Tulis ini pernah dimuat di TGJ Tanggal 30 April 2012

Comments