Fanisa Rizkia (15), gadis korban tsunami dan juga korban trafficking ini berlinang air mata saat tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda (SM), Blang Bintang. Dia tiba di Bandara bersama rombongan dari Pemerintah Aceh, Jumat (19/12) sekira pukul 08.05 WIB.
Menggunakan baju hijau tua tanpa berjilbab, dia kini sudah kembali bisa menghirup udara segar dari kungkungan agen tenaga kerja Indonesia (TKI) yang nakal di Malaysia. Selama 5 bulan, Fanisa berada dalam cengkraman agen Malaysia bernama Asraf.
Bahkan selama di Malaysia dia pernah disiksa dan tidak menerima gaji hasil kerjanya. Sehingga dia tidak bisa berbuat apapun dan kemudian diketahui oleh Kedutaan Pemerintah Indonesia di Malaysia.
Fanisa Rizkia setiba dalam ruangan VVIP Bandara SIM, Blang Bintang berkisah. Sesekali dia mengusap matanya karena linangan air mata terus mengalir. Sambil sedikit terisak-isak, Fanisa bercerita saat tragedi tsunami di Aceh 26 Desember 2004 barusia 5 tahun.
"Umur saya waktu itu baru 5 tahun," kata Fanisa Rizkia, Jumat (19/12) dalam ruang VVIP Bandara SIM, Blang Bintang.
Didampingi oleh Kepala Dinas Sosial, Bukhari dan Kepala Badan Penanggulan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul, Fanisa beberapa kali terdiam sejenak mengingat-ngingat tragedi 10 tahun silam. Tidak banyak yang dia ingat, saat ditanyakan saat tsunami, Fanisa lebih banyak menggelengkan kepalanya.
Namun Fanisa ingat betul pasca tsunami terjadi dan dia selamat dari amukan tsunami, lagi-lagi dia tidak ingat bagaimana bisa selamat. Hal yang dia ingat saat sahabat orang tuanya menjemput setelah satu minggu tsunami terjadi.
Sabariah, wanita inilah yang disebutnya sahabat dekat orang tua Fanisa menjemputnya dan langsung membawanya ke Medan. Lalu Fanisa sempat mengecap pendidikan hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Sedangkan untuk melanjutkan sekolah, Fanisa mengaku tidak lagi bisa melanjutkannya, karena sudah hidup menjadi anak jalanan di Medan.
Kisah sedih dirinya menjadi anak jalanan selama 4 tahun lebih ini, bermula Sabariah yang sangat dihormatinya sakit dan pada usianya 10 tahun lebih, ibu angkatnya meninggal dunia. Namun sayangnya, setelah Sabariah meninggal, keluarga ini tidak mau menerima kehadiran Fanisa di tengah-tengah keluarga mereka.
"Lalu saya tidak diizinkan lagi tinggal bersama keluarga ibu Sabariah, jadilah saya hidup gelandangan," jelasnya.
Fanisa bahkan selama 4 tahun lebih hidup terlatung-latung satu tempat ke tempat lain tanpa tau arah. Untuk memenuhi bisa menyambung hidupnya, Fanisa harus bekerja serabutan. Termasuk pernah bekerja sebagai penjaga warnet.
"Waktu bekerja di warnet, saya tidur di warnet itu, selebihnya saya tidur dijalanan," imbuhnya.
Kisah mirisnya tidak hanya sampai di situ, ternyata beratnya kehidupan jalanan yang dijalani di Medan. Kemudian sekitar 5 bulan lalu, Fanisa bertemu dengan seseorang bernama ibu Ida.
Ibu Ida inilah yang menawarkan pekerjaan pada Fanisa yang saat itu sudah tidak memiliki pekerjaan apapun. Ibu Ida menjanjikan pekerjaan sebagai pelayanan restoran di Malaysia.
"Ketemu sama ibu Ida dan dia kasih untuk ibu Anisah, lalu saya dijual pada agen Asraf di Malaysia kerja PRT," jelasnya.
Fanisa mengaku sebelum ke Malaysia, agennya di Medan memalsukan dokumen dengan memanipulasikan umur sampai 3 tahun lebih tua. Pemalsuan ini dilakukan oleh agen di Medan bernama Anisah.
Sesampai di Malaysia, penderitaan Fanisa bukannya usai, akan tetapi dia kembali terjebak dalam sebuah kungkungan mafia agen penjualan manusia.
Pekerjaan yang dia harapkan menjadi pelayan di restoran pupus sudah, padahal dirinya sebelum berangkat ke Malaysia sekitar 5 bulan lalu meminta bekerja di restoran orang melayu dan muslim.
Namun yang terjadi, sesampainya pada agen Malaysia bernama Asraf, Fanisa dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) selama satu bulan. Meskipun majikannya ini orang India baik, tetapi gaji satu bulan ini semua diambil oleh agen tersebut.
"Lalu setelah itu saya dibanting harga 2000 ringgit pada orang lain, saya dijual lagi sampai saya bertemu dengan kedutaan," kenangnya.
Kendati kisah perihnya sudah berlalu lebih 10 tahun dan tragedi tsunami sudah berlalu satu dekade. Fanisa ternyata masih ingat betul dengan nama kedua orang tuanya dan saudara kandungnya sebanyak dua orang.
Fanisa mengaku, nama ibunya yang disapa mama adalah Cut Uti Maryati dan ayahnya Zakaria. Sedangkan abang kandungnya bernama Muhamma Harim. "Tapi nama kakak gak ingat lagi, hanya nama panggilan ingat yaitu Kak Nong," kenangnya.
Fanisa mengaku, kedua orang tuanya berasal dari Desa Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Namun lagi-lagi Fanisa mengaku juga tidak mengenal saudaranya di sana.
"Asli Lhokseumawe di Mon Geudong, tapi saya tidak ingat siapa-siapa," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari mengatakan, Fanisa ini akan ditampung di panti asuhan untuk sementara. Karena Fanisa tidak satupun mengenal saudaranya baik di Banda Aceh maupun di Lhokseumawe.
"Ini kita tampung di panti asuhan sementara, karena dia tidak kenal sama sekali keluarganya, kita akan bawa di mana kejadiannya di Banda Aceh dan kita sudah kontak dengan kepala desa di Lhokseumawe, namun belum ada jawaban," tutupnya.
Sumber : merdeka.com
Menggunakan baju hijau tua tanpa berjilbab, dia kini sudah kembali bisa menghirup udara segar dari kungkungan agen tenaga kerja Indonesia (TKI) yang nakal di Malaysia. Selama 5 bulan, Fanisa berada dalam cengkraman agen Malaysia bernama Asraf.
Bahkan selama di Malaysia dia pernah disiksa dan tidak menerima gaji hasil kerjanya. Sehingga dia tidak bisa berbuat apapun dan kemudian diketahui oleh Kedutaan Pemerintah Indonesia di Malaysia.
Fanisa Rizkia setiba dalam ruangan VVIP Bandara SIM, Blang Bintang berkisah. Sesekali dia mengusap matanya karena linangan air mata terus mengalir. Sambil sedikit terisak-isak, Fanisa bercerita saat tragedi tsunami di Aceh 26 Desember 2004 barusia 5 tahun.
"Umur saya waktu itu baru 5 tahun," kata Fanisa Rizkia, Jumat (19/12) dalam ruang VVIP Bandara SIM, Blang Bintang.
Didampingi oleh Kepala Dinas Sosial, Bukhari dan Kepala Badan Penanggulan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul, Fanisa beberapa kali terdiam sejenak mengingat-ngingat tragedi 10 tahun silam. Tidak banyak yang dia ingat, saat ditanyakan saat tsunami, Fanisa lebih banyak menggelengkan kepalanya.
Namun Fanisa ingat betul pasca tsunami terjadi dan dia selamat dari amukan tsunami, lagi-lagi dia tidak ingat bagaimana bisa selamat. Hal yang dia ingat saat sahabat orang tuanya menjemput setelah satu minggu tsunami terjadi.
Sabariah, wanita inilah yang disebutnya sahabat dekat orang tua Fanisa menjemputnya dan langsung membawanya ke Medan. Lalu Fanisa sempat mengecap pendidikan hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Sedangkan untuk melanjutkan sekolah, Fanisa mengaku tidak lagi bisa melanjutkannya, karena sudah hidup menjadi anak jalanan di Medan.
Kisah sedih dirinya menjadi anak jalanan selama 4 tahun lebih ini, bermula Sabariah yang sangat dihormatinya sakit dan pada usianya 10 tahun lebih, ibu angkatnya meninggal dunia. Namun sayangnya, setelah Sabariah meninggal, keluarga ini tidak mau menerima kehadiran Fanisa di tengah-tengah keluarga mereka.
"Lalu saya tidak diizinkan lagi tinggal bersama keluarga ibu Sabariah, jadilah saya hidup gelandangan," jelasnya.
Fanisa bahkan selama 4 tahun lebih hidup terlatung-latung satu tempat ke tempat lain tanpa tau arah. Untuk memenuhi bisa menyambung hidupnya, Fanisa harus bekerja serabutan. Termasuk pernah bekerja sebagai penjaga warnet.
"Waktu bekerja di warnet, saya tidur di warnet itu, selebihnya saya tidur dijalanan," imbuhnya.
Kisah mirisnya tidak hanya sampai di situ, ternyata beratnya kehidupan jalanan yang dijalani di Medan. Kemudian sekitar 5 bulan lalu, Fanisa bertemu dengan seseorang bernama ibu Ida.
Ibu Ida inilah yang menawarkan pekerjaan pada Fanisa yang saat itu sudah tidak memiliki pekerjaan apapun. Ibu Ida menjanjikan pekerjaan sebagai pelayanan restoran di Malaysia.
"Ketemu sama ibu Ida dan dia kasih untuk ibu Anisah, lalu saya dijual pada agen Asraf di Malaysia kerja PRT," jelasnya.
Fanisa mengaku sebelum ke Malaysia, agennya di Medan memalsukan dokumen dengan memanipulasikan umur sampai 3 tahun lebih tua. Pemalsuan ini dilakukan oleh agen di Medan bernama Anisah.
Sesampai di Malaysia, penderitaan Fanisa bukannya usai, akan tetapi dia kembali terjebak dalam sebuah kungkungan mafia agen penjualan manusia.
Pekerjaan yang dia harapkan menjadi pelayan di restoran pupus sudah, padahal dirinya sebelum berangkat ke Malaysia sekitar 5 bulan lalu meminta bekerja di restoran orang melayu dan muslim.
Namun yang terjadi, sesampainya pada agen Malaysia bernama Asraf, Fanisa dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) selama satu bulan. Meskipun majikannya ini orang India baik, tetapi gaji satu bulan ini semua diambil oleh agen tersebut.
"Lalu setelah itu saya dibanting harga 2000 ringgit pada orang lain, saya dijual lagi sampai saya bertemu dengan kedutaan," kenangnya.
Kendati kisah perihnya sudah berlalu lebih 10 tahun dan tragedi tsunami sudah berlalu satu dekade. Fanisa ternyata masih ingat betul dengan nama kedua orang tuanya dan saudara kandungnya sebanyak dua orang.
Fanisa mengaku, nama ibunya yang disapa mama adalah Cut Uti Maryati dan ayahnya Zakaria. Sedangkan abang kandungnya bernama Muhamma Harim. "Tapi nama kakak gak ingat lagi, hanya nama panggilan ingat yaitu Kak Nong," kenangnya.
Fanisa mengaku, kedua orang tuanya berasal dari Desa Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Namun lagi-lagi Fanisa mengaku juga tidak mengenal saudaranya di sana.
"Asli Lhokseumawe di Mon Geudong, tapi saya tidak ingat siapa-siapa," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari mengatakan, Fanisa ini akan ditampung di panti asuhan untuk sementara. Karena Fanisa tidak satupun mengenal saudaranya baik di Banda Aceh maupun di Lhokseumawe.
"Ini kita tampung di panti asuhan sementara, karena dia tidak kenal sama sekali keluarganya, kita akan bawa di mana kejadiannya di Banda Aceh dan kita sudah kontak dengan kepala desa di Lhokseumawe, namun belum ada jawaban," tutupnya.
Sumber : merdeka.com
Comments
Post a Comment