Sepuluh tahun pasca terjadinya tsunami dahsyat di Aceh, Mariati (21) seorang gadis yatim piatu korban tsunami belum juha mendapatkan bantuan, terutama rumah. Mariati kini sudah beranjak dewas dan duduk di bangku kuliah.
Kisah sedih ini bermula pagi Minggu 26 Desember 2004 lalu. Saat itu menjadi hari terakhir ia bertemu dengan kedua orangtua dan ketiga saudara kandungnya. Tentu ia tidak terbayang, musibah ini menimpa dirinya.
Saat itu, Mariati masih berusia 11 tahun. Gadis mungil ini pada hari nahas itu masih tertidur lelap karena hari libur dan tidak perlu bangun cepat. Tiba-tiba hentakan bumi membangunnya dari tempat tidur dan bergegas keluar dari dalam rumah.
Mariati sebelum tsunami tinggal di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Kawasan seluruh bangunan rata dengan tanah pasca tsunami terjadi.
Mariati bersama ibunya, Suriati dan adiknya. Sedangkan abang kandung bersama ayahnya, Amir Hasan dan mereka terpencar saat dihantam tsunami. "Waktu naik air kami terpencar, karena siap gempa kami sudah berkumpul di depan rumah, tapi waktu dalam air kami terpisah lagi sama mama," kenang Mariati.
Setelah digulung tsunami, Mariati terdampar di Lampulo, sekitar 1 Km lebih dari tempat tinggalnya. Setelah air surut, dia lantas berjalan tanpa arah tujuan sampai bertemu dengan seorang kakek yang mengenalinya. Kakek itu mengajak Mariati berjalan sampai ke Masjid Raya Baiturrahman. "Di Masjid Raya lah saya ketemu dengan paman dan saya pun dibawa pulang ke rumah di Blower," jelasnya.
Kemudian Mariati langsung dijemput oleh neneknya dari Kabupaten Pidie pada hari kedua setelah terjadi tsunami. Mariati melanjutkan sekolah dari Sekolah Dasar sampai tamat SMU di Kabupaten Pidie.
Untuk mendapatkan bantuan, paman Mariati sudah beberapa kali melaporkan dan melengkapi administrasi yang diminta untuk mengurus bantuan, terutama bantuan rumah. Pasalnya, Mariati sebelum tsunami tinggal di Gampong Jawa, Banda Aceh memiliki sepetak tanah peninggalan orangtuanya.
"Sudah diurus sama paman, Mariati kan masih kecil, jadi paman semua yang urus, kenyataannya sampai sekarang belum dapat rumah," ceritanya.
Selama tinggal bersama nenek di Desa Linggong Sagoe, Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Pidie sampai tamat SMU. Mariati memang tidak menampik ada mendapatkan bantuan, tetapi hanya berupa beasiswa sekolah dan uang Jatah Hidup (Jadup) yang diberikan oleh kecamatan.
"Kalau kuliah sekarang beasiswa juga dari program bidikmisi, tetapi kalau rumah tidak ada dan bantuan lainnya juga tidak ada," jelasnya.
Sekarang Mariati tinggal sebatang kara. Kendati demikian, tidak membuat dirinya patah arang. Ia tetap memiliki semangat hidup ingin mempersembahkan serjana ini untuk kedua orang tuanya meskipun mereka sudah tiada.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini di Banda Aceh, Mariati tidak menggantungkan dirinya hanya kiriman dari nenek yang sudah lanjut usia. Mariati mencari penambahan penghasil dengan mengajar les privat matematika.
"Selama ini saya mengajar lest privat anak sekolah di rumah-rumah, khususnya lest matematika, karena saya kuliah FKIP Matematik di Unsyiah, jelasnya.
Pada peringatan 10 tahun tsunami, tidak banyak harapan yang dia inginkan. Akan tetapi dia berharap pemerintah bisa berlaku adil dan memperhatikan dirinya korban tsunami yang belum dapat rumah.
"Saya berharap ke depan pemerintah mau memberikan saya rumah, karena saya tinggal sebatang kara," harapnya.
Kisah sedih ini bermula pagi Minggu 26 Desember 2004 lalu. Saat itu menjadi hari terakhir ia bertemu dengan kedua orangtua dan ketiga saudara kandungnya. Tentu ia tidak terbayang, musibah ini menimpa dirinya.
Saat itu, Mariati masih berusia 11 tahun. Gadis mungil ini pada hari nahas itu masih tertidur lelap karena hari libur dan tidak perlu bangun cepat. Tiba-tiba hentakan bumi membangunnya dari tempat tidur dan bergegas keluar dari dalam rumah.
Mariati sebelum tsunami tinggal di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Kawasan seluruh bangunan rata dengan tanah pasca tsunami terjadi.
Mariati bersama ibunya, Suriati dan adiknya. Sedangkan abang kandung bersama ayahnya, Amir Hasan dan mereka terpencar saat dihantam tsunami. "Waktu naik air kami terpencar, karena siap gempa kami sudah berkumpul di depan rumah, tapi waktu dalam air kami terpisah lagi sama mama," kenang Mariati.
Setelah digulung tsunami, Mariati terdampar di Lampulo, sekitar 1 Km lebih dari tempat tinggalnya. Setelah air surut, dia lantas berjalan tanpa arah tujuan sampai bertemu dengan seorang kakek yang mengenalinya. Kakek itu mengajak Mariati berjalan sampai ke Masjid Raya Baiturrahman. "Di Masjid Raya lah saya ketemu dengan paman dan saya pun dibawa pulang ke rumah di Blower," jelasnya.
Kemudian Mariati langsung dijemput oleh neneknya dari Kabupaten Pidie pada hari kedua setelah terjadi tsunami. Mariati melanjutkan sekolah dari Sekolah Dasar sampai tamat SMU di Kabupaten Pidie.
Untuk mendapatkan bantuan, paman Mariati sudah beberapa kali melaporkan dan melengkapi administrasi yang diminta untuk mengurus bantuan, terutama bantuan rumah. Pasalnya, Mariati sebelum tsunami tinggal di Gampong Jawa, Banda Aceh memiliki sepetak tanah peninggalan orangtuanya.
"Sudah diurus sama paman, Mariati kan masih kecil, jadi paman semua yang urus, kenyataannya sampai sekarang belum dapat rumah," ceritanya.
Selama tinggal bersama nenek di Desa Linggong Sagoe, Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Pidie sampai tamat SMU. Mariati memang tidak menampik ada mendapatkan bantuan, tetapi hanya berupa beasiswa sekolah dan uang Jatah Hidup (Jadup) yang diberikan oleh kecamatan.
"Kalau kuliah sekarang beasiswa juga dari program bidikmisi, tetapi kalau rumah tidak ada dan bantuan lainnya juga tidak ada," jelasnya.
Sekarang Mariati tinggal sebatang kara. Kendati demikian, tidak membuat dirinya patah arang. Ia tetap memiliki semangat hidup ingin mempersembahkan serjana ini untuk kedua orang tuanya meskipun mereka sudah tiada.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini di Banda Aceh, Mariati tidak menggantungkan dirinya hanya kiriman dari nenek yang sudah lanjut usia. Mariati mencari penambahan penghasil dengan mengajar les privat matematika.
"Selama ini saya mengajar lest privat anak sekolah di rumah-rumah, khususnya lest matematika, karena saya kuliah FKIP Matematik di Unsyiah, jelasnya.
Pada peringatan 10 tahun tsunami, tidak banyak harapan yang dia inginkan. Akan tetapi dia berharap pemerintah bisa berlaku adil dan memperhatikan dirinya korban tsunami yang belum dapat rumah.
"Saya berharap ke depan pemerintah mau memberikan saya rumah, karena saya tinggal sebatang kara," harapnya.
Comments
Post a Comment