Fanisa Rizkia (15), seorang gadis berkulit gelap ini meskipun masih usia belia namun telah mengalami beban psikis yang berat. Menjadi korban tsunami, terlantar di jalanan setelah ibu angkatnya meninggal sampai menjadi korban trafficking di Malaysia.
Kini, Fanisa Rizikia yang memiliki nama masa kecilnya Cut Nisa sudah bisa menghirup udara bebas. Dia sudah tidak lagi berada dalam cengkeraman mafia perdagangan manusia. Sejak tanggal 19 Desember 2014 lalu, Nisa sudah terlindungi. Pemerintah Aceh bekerjasama dengan Kedutaan Indonesia di Malaysia, telah memulangkan kembali ke Aceh.
Kemudian setelah beberapa hari Nisa berada di Aceh. Akhirnya dia berkesempatan bertemu dengan Zaini Abdullah, Selasa mala
m (23/12) sekira pukul 20.00 WIB di Pendopo. Dalam pertemuan itu, Zaini mendengar kisah perjalanan hidup gadis malang ini.
"Ananda harus senantiasa bersyukur kepada Allah karena atas izin Sang Maha Kuasa, Fanisa akhirnya dapat terbebas dari cengkeraman pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan telah memperlakukan Fanisa secara semena-mena," ujar Zaini Abdullah.
Cut Lisa, saat tsunami terjadi 26 Desember 2014 masih berumur lima tahun. Daerah asal gadis ini adalah dari Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Di depan Gubernur, gadis ini menceritakan secara detail kisah hidupnya kepada Gubernur Aceh tentang perjalanannya pasca tsunami hingga akhirnya dipekerjakan di Malaysia.
Saat tsunami terjadi, Fanisa dibawa oleh Sabariah (orang yang mengaku teman Ibunda Fanisa-red) ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Setelah seminggu berada berada di Masjid Raya, Fanisa akhirnya dibawa oleh Bayah (Panggilan akrab Sabariah) ke Medan.
Selama tinggal bersama Bayah, Fanisa mengaku diperlakukan dengan baik dan disekolahkan hingga SMP. Saat menginjak kelas dua SMP, Bayah akhirnya meninggal dunia setelah berjuang sekian lama melawan penyakit kanker.
Sepeninggal Bayah, tepatnya 40 hari pasca meninggal Bayah, Fanisa diusir oleh adik Bayah, seluruh harta dan pemberian Bayah kepadanya diambil alih oleh adik Bayah.
Hingga Fanisa menggantungkan hidup dan berteduh di jalanan dan mulai bekerja serabutan demi melanjutkan hidupnya. Mulai dari penjaga warnet hingga doorsmeer pun dilakoni oleh gadis berkulit hitam manis ini.
Lebih 4 tahun kerja serabutan dan tinggal di jalanan di Medan, Sumatera Utara. Hingga akhirnya Fanisa bertemu dengan Ida. Ida mengaku teman baik Bayah. Ida pun menawarkan Fanisa pekerjaan sebagai pelayan restoran di Malaysia.
"Akhirnya saya terima dan saya bilang mau bekerja di restoran milik orang Melayu dan orang Islam," ujarnya.
Namun, setiba di Malaysia Fanisa tidak dipekerjakan di Restoran seperti yang dijanjikan Ida. Fanisa justru dijual ke salah satu agensi dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
"Yang saya tahu, saat disana (di Malaysia) saya dijual seharga 6 ribu ringgit kepada salah satu agensi," terang Fanisa terbata-bata, sembari menyeka buliran air mata yang mulai menetes membasahi pipinya.
Selama menjadi pembantu rumah tangga di salah satu rumah di daerah Rawang, Malaysia. Fanisa mengaku diperlakukan secara wajar oleh pemilik rumah.
Namun, beratnya beban pekerjaan yang memang tidak sesuai dengan usianya, membuat Fanisa menyerah dan meminta izin kepada sang pemilik rumah untuk mengembalikannya kepada agensi.
"Diperbolehkan pulang, tetapi pemilik rumah minta bayaran ganti rugi 2 ribu ringgit, karena tak ada uang, saya melanjutkan pekerjaan," tuturnya.
Kendati demikian, pemilik rumah akhirnya mengembalikan Fanisa ke agensi. Disinilah Fanisa awal malapetaka menimpa Fanisa. Fanisa mengaku sempat mendapatkan perlakuan kasar dari pihak agensi.
"Mereka sempat memukul kepala saya sekali, mungkin karena kesal, karena saya tidak mau bekerja. Sedangkan selama bekerja saya tidak pernah mendapatkan bayaran sepersen pun," tukasnya.
Saat di agensi, Fanisa selalu meminta untuk dipulangkan ke Indonesia. Namun pihak agensi tidak mengabulkan, kecuali Fanisa mampu membayar uang sebesar 2 ribu ringgit.
Karena tidak sanggup membayar, Fanisa akhirnya dikurung disalah satu ruangan di kantor agensi tersebut. Hal tersebut dikarenakan Fanisa selalu meminta untuk dipulangkan ke Indonesia.
Beruntung, pada suatu pagi, Fanisa berhasil keluar dari ruang penyekapan dan meminta tolong kepada salah seorang bapak yang kebetulan sedang jogging dan melintas di depan kantor agensi tersebut.
"Bapak tersebut kemudian melaporkan keberadaan saya di agensi tersebut ke polis (Polisi). Tak berapa lama kemudian datang polis ke kantor agensi kemudian menjemput dan membawa saya ke KBRI. Akhirnya saya kembali ke Aceh setelah dijemput oleh Pak Bukhari dan Pak Said," terang Nisa sembari melemparkan senyum ke arah Kadinsos dan Kepala BPBA itu.
Kini, Fanisa Rizikia yang memiliki nama masa kecilnya Cut Nisa sudah bisa menghirup udara bebas. Dia sudah tidak lagi berada dalam cengkeraman mafia perdagangan manusia. Sejak tanggal 19 Desember 2014 lalu, Nisa sudah terlindungi. Pemerintah Aceh bekerjasama dengan Kedutaan Indonesia di Malaysia, telah memulangkan kembali ke Aceh.
Kemudian setelah beberapa hari Nisa berada di Aceh. Akhirnya dia berkesempatan bertemu dengan Zaini Abdullah, Selasa mala
m (23/12) sekira pukul 20.00 WIB di Pendopo. Dalam pertemuan itu, Zaini mendengar kisah perjalanan hidup gadis malang ini.
"Ananda harus senantiasa bersyukur kepada Allah karena atas izin Sang Maha Kuasa, Fanisa akhirnya dapat terbebas dari cengkeraman pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan telah memperlakukan Fanisa secara semena-mena," ujar Zaini Abdullah.
Cut Lisa, saat tsunami terjadi 26 Desember 2014 masih berumur lima tahun. Daerah asal gadis ini adalah dari Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Di depan Gubernur, gadis ini menceritakan secara detail kisah hidupnya kepada Gubernur Aceh tentang perjalanannya pasca tsunami hingga akhirnya dipekerjakan di Malaysia.
Saat tsunami terjadi, Fanisa dibawa oleh Sabariah (orang yang mengaku teman Ibunda Fanisa-red) ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Setelah seminggu berada berada di Masjid Raya, Fanisa akhirnya dibawa oleh Bayah (Panggilan akrab Sabariah) ke Medan.
Selama tinggal bersama Bayah, Fanisa mengaku diperlakukan dengan baik dan disekolahkan hingga SMP. Saat menginjak kelas dua SMP, Bayah akhirnya meninggal dunia setelah berjuang sekian lama melawan penyakit kanker.
Sepeninggal Bayah, tepatnya 40 hari pasca meninggal Bayah, Fanisa diusir oleh adik Bayah, seluruh harta dan pemberian Bayah kepadanya diambil alih oleh adik Bayah.
Hingga Fanisa menggantungkan hidup dan berteduh di jalanan dan mulai bekerja serabutan demi melanjutkan hidupnya. Mulai dari penjaga warnet hingga doorsmeer pun dilakoni oleh gadis berkulit hitam manis ini.
Lebih 4 tahun kerja serabutan dan tinggal di jalanan di Medan, Sumatera Utara. Hingga akhirnya Fanisa bertemu dengan Ida. Ida mengaku teman baik Bayah. Ida pun menawarkan Fanisa pekerjaan sebagai pelayan restoran di Malaysia.
"Akhirnya saya terima dan saya bilang mau bekerja di restoran milik orang Melayu dan orang Islam," ujarnya.
Namun, setiba di Malaysia Fanisa tidak dipekerjakan di Restoran seperti yang dijanjikan Ida. Fanisa justru dijual ke salah satu agensi dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
"Yang saya tahu, saat disana (di Malaysia) saya dijual seharga 6 ribu ringgit kepada salah satu agensi," terang Fanisa terbata-bata, sembari menyeka buliran air mata yang mulai menetes membasahi pipinya.
Selama menjadi pembantu rumah tangga di salah satu rumah di daerah Rawang, Malaysia. Fanisa mengaku diperlakukan secara wajar oleh pemilik rumah.
Namun, beratnya beban pekerjaan yang memang tidak sesuai dengan usianya, membuat Fanisa menyerah dan meminta izin kepada sang pemilik rumah untuk mengembalikannya kepada agensi.
"Diperbolehkan pulang, tetapi pemilik rumah minta bayaran ganti rugi 2 ribu ringgit, karena tak ada uang, saya melanjutkan pekerjaan," tuturnya.
Kendati demikian, pemilik rumah akhirnya mengembalikan Fanisa ke agensi. Disinilah Fanisa awal malapetaka menimpa Fanisa. Fanisa mengaku sempat mendapatkan perlakuan kasar dari pihak agensi.
"Mereka sempat memukul kepala saya sekali, mungkin karena kesal, karena saya tidak mau bekerja. Sedangkan selama bekerja saya tidak pernah mendapatkan bayaran sepersen pun," tukasnya.
Saat di agensi, Fanisa selalu meminta untuk dipulangkan ke Indonesia. Namun pihak agensi tidak mengabulkan, kecuali Fanisa mampu membayar uang sebesar 2 ribu ringgit.
Karena tidak sanggup membayar, Fanisa akhirnya dikurung disalah satu ruangan di kantor agensi tersebut. Hal tersebut dikarenakan Fanisa selalu meminta untuk dipulangkan ke Indonesia.
Beruntung, pada suatu pagi, Fanisa berhasil keluar dari ruang penyekapan dan meminta tolong kepada salah seorang bapak yang kebetulan sedang jogging dan melintas di depan kantor agensi tersebut.
"Bapak tersebut kemudian melaporkan keberadaan saya di agensi tersebut ke polis (Polisi). Tak berapa lama kemudian datang polis ke kantor agensi kemudian menjemput dan membawa saya ke KBRI. Akhirnya saya kembali ke Aceh setelah dijemput oleh Pak Bukhari dan Pak Said," terang Nisa sembari melemparkan senyum ke arah Kadinsos dan Kepala BPBA itu.
Comments
Post a Comment