Rumah petak masih berjejer ini yang disebut barak, di depan rumah ini masih tergantung pakaian bergantungan di jemuran. Ini pertanda rumah petak berjejer ini masih berpenghuni.
Dinding, tiang penopang bangunan ini ringgih dimakan rayap, lapuk dan terlihat beberapa bagian ada yang nyaris rubuh. Namun agar barak ini tidak roboh, penghuni menopangnya dengan kayu lain.
Anak-anak berusia sekitar 4 sampai 8 tahun berlarian di depan barak. Semak-semak ilalang seakan-akan menjadi tempat primadona bagi mereka. Sesekali mereka sembunyi di balik beberapa reruntuhan barak dan barang bekas yang berserakan di kawasan ini sedang bermain.
Terletak di perkampungan Desa Bakoy, Kec
amatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Sebelumnya bangunan berjejer ini adalah barak pengungsi korban tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 lalu. Namun, 10 tahun bencana ini terjadi, ternyata masih terdapat sejumlah korban tsunami yang tinggal di sini.
Ada banyak kontroversi keberadaan mereka di sini. Ada yang menyebutkan warga yang tinggal di barak Bakoy bukanlah pengungsi korban tsunami. Akan tetapi warga dari luar Aceh Besar yang bukan korban tsunami datang duduk mengaku sebagai korban tsunami.
Bahkan ada yang menuding penghuni barak ini juga hanya menyewa barak dari pemilik tanah. Pasalnya, saat masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir pada tanggal 16 April 2009, barak ini tidak dibongkar. Akan tetapi pihak BRR langsung menyerahkan kembali tanah ini beserta barak tersebut.
Kendati demikian, semua tudingan ini semua dimentahkan oleh seorang penghuni barak Bakoy. Namanya Yanti, saat dia kenang tragedi gempa dan tsunami 10 tahun silam, rasanya masih belum lekang ingatannya itu saat didapati rumah tempat tinggalnya sudah porak-poranda.
"Saya sedih kalau seperti ini masih dibilang bukan korban tsunami, saya suami, anak dan juga ibu saya semua meninggal, tidak dapat jenazah," katanya dengan tegar.
Yanti sebelum tsunami tinggal di Kampung Pie, Kecamatan Meuraxa, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Kawasan ini merupakan daerah yang paling parah terkena imbas tsunami, karena memang hanya berada dari bibir pantai sekitar 1 Km.
"Saya selamat waktu itu saya tidak di rumah, saya sedang berada di Keutapang, jauh dari tempat tsunami, makanya saya selamat," imbuhnya.
Setelah tsunami terjadi, dirinya bersama warga sempat beberapa kali berpindah-pindah barak. Seingatnya, ada 4 kali pindah barak dan kemudian menetap di barak Bakoy.
Namun saat rehap-rekon Aceh, baik dilakukan oleh BRR maupun NGO Internasional. Berulang kali dia memperbaiki dokumen dan juga foto kopi KTP dan KK untuk mengurus rumah. Namun sampai saat ini dia mengaku belum mendapatkannya.
Kendati demikian, angin segar sudah pernah dia terima. Sekitar tahun 2009 lalu, dia pernah hampir mendapatkan kunci rumah yang berada di Desa Reudeup, Kabupaten Aceh Besar. Namun dia kembali harus gigit jari, karena rumah idamannya itu sudah terlebih dahulu diserobot orang.
"Setelah itu ada agen yang mempermainkan rumah korban tsunami, kami diminta uang Rp 3,5 juta agar bisa dapat kunci rumah dan saya sudah laporkan kasus ini pada LBH Banda Aceh," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Barak Bakoy, Bukhari mengaku, masih terdapat 64 kepala keluar di sini yang belum dapat rumah. Sambil memperlihatkan setumpuk dokumen, Bukhari berharap ada perhatian khusus dari pemerintah agar bisa segera memberikan rumah pada korban tsunami.
"Ini dokumen semua, dokumen-dokumen inilah yang korban tsunami," terang Bukhari sambil membuka satu persatu dokumen tersebut.
Mengenai masih terdapatnya korban tsunami tinggal di Barak. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Abubakar menyebutkan saat ini paska berakhirnya BRR tidak lagi disebutkan korban tsunami. Tetapi mereka akan masuk dalam program pemerintah membangun rumah layak huni.
"Pada tahun 2013 kita sudah bangun rumah layak huni sekitar 20.000 rumah di seluruh Aceh," tuturnya.
Ini semua, jelasnya, akan menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Aceh dan telah diperintahkan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk mengalokasikan 10 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk pembangunan rumah layak huni di Aceh.
Dinding, tiang penopang bangunan ini ringgih dimakan rayap, lapuk dan terlihat beberapa bagian ada yang nyaris rubuh. Namun agar barak ini tidak roboh, penghuni menopangnya dengan kayu lain.
Anak-anak berusia sekitar 4 sampai 8 tahun berlarian di depan barak. Semak-semak ilalang seakan-akan menjadi tempat primadona bagi mereka. Sesekali mereka sembunyi di balik beberapa reruntuhan barak dan barang bekas yang berserakan di kawasan ini sedang bermain.
Terletak di perkampungan Desa Bakoy, Kec
amatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Sebelumnya bangunan berjejer ini adalah barak pengungsi korban tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 lalu. Namun, 10 tahun bencana ini terjadi, ternyata masih terdapat sejumlah korban tsunami yang tinggal di sini.
Ada banyak kontroversi keberadaan mereka di sini. Ada yang menyebutkan warga yang tinggal di barak Bakoy bukanlah pengungsi korban tsunami. Akan tetapi warga dari luar Aceh Besar yang bukan korban tsunami datang duduk mengaku sebagai korban tsunami.
Bahkan ada yang menuding penghuni barak ini juga hanya menyewa barak dari pemilik tanah. Pasalnya, saat masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir pada tanggal 16 April 2009, barak ini tidak dibongkar. Akan tetapi pihak BRR langsung menyerahkan kembali tanah ini beserta barak tersebut.
Kendati demikian, semua tudingan ini semua dimentahkan oleh seorang penghuni barak Bakoy. Namanya Yanti, saat dia kenang tragedi gempa dan tsunami 10 tahun silam, rasanya masih belum lekang ingatannya itu saat didapati rumah tempat tinggalnya sudah porak-poranda.
"Saya sedih kalau seperti ini masih dibilang bukan korban tsunami, saya suami, anak dan juga ibu saya semua meninggal, tidak dapat jenazah," katanya dengan tegar.
Yanti sebelum tsunami tinggal di Kampung Pie, Kecamatan Meuraxa, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Kawasan ini merupakan daerah yang paling parah terkena imbas tsunami, karena memang hanya berada dari bibir pantai sekitar 1 Km.
"Saya selamat waktu itu saya tidak di rumah, saya sedang berada di Keutapang, jauh dari tempat tsunami, makanya saya selamat," imbuhnya.
Setelah tsunami terjadi, dirinya bersama warga sempat beberapa kali berpindah-pindah barak. Seingatnya, ada 4 kali pindah barak dan kemudian menetap di barak Bakoy.
Namun saat rehap-rekon Aceh, baik dilakukan oleh BRR maupun NGO Internasional. Berulang kali dia memperbaiki dokumen dan juga foto kopi KTP dan KK untuk mengurus rumah. Namun sampai saat ini dia mengaku belum mendapatkannya.
Kendati demikian, angin segar sudah pernah dia terima. Sekitar tahun 2009 lalu, dia pernah hampir mendapatkan kunci rumah yang berada di Desa Reudeup, Kabupaten Aceh Besar. Namun dia kembali harus gigit jari, karena rumah idamannya itu sudah terlebih dahulu diserobot orang.
"Setelah itu ada agen yang mempermainkan rumah korban tsunami, kami diminta uang Rp 3,5 juta agar bisa dapat kunci rumah dan saya sudah laporkan kasus ini pada LBH Banda Aceh," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Barak Bakoy, Bukhari mengaku, masih terdapat 64 kepala keluar di sini yang belum dapat rumah. Sambil memperlihatkan setumpuk dokumen, Bukhari berharap ada perhatian khusus dari pemerintah agar bisa segera memberikan rumah pada korban tsunami.
"Ini dokumen semua, dokumen-dokumen inilah yang korban tsunami," terang Bukhari sambil membuka satu persatu dokumen tersebut.
Mengenai masih terdapatnya korban tsunami tinggal di Barak. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Abubakar menyebutkan saat ini paska berakhirnya BRR tidak lagi disebutkan korban tsunami. Tetapi mereka akan masuk dalam program pemerintah membangun rumah layak huni.
"Pada tahun 2013 kita sudah bangun rumah layak huni sekitar 20.000 rumah di seluruh Aceh," tuturnya.
Ini semua, jelasnya, akan menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Aceh dan telah diperintahkan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk mengalokasikan 10 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk pembangunan rumah layak huni di Aceh.
Comments
Post a Comment