Senja merambat pelan, hingga sore beranjak malam. Lantunan ayat Alquran di masjid menggema pertanda akan memasuki waktu Magrib di serambi Makkah. Cuaca mendung, angin sepoi-sepoi sesekali masuk dari arah pintu depan. Dua bocah itu masih saja sibuk bermain, bersenda gurau dan sesekali berlarian tak karuan.
Buku di tangan kanannya tetap tak lepas. Sesekali berhenti berlari dan melihat-lihat gambar. Sedangkan yang lain asyik membaca buku. Sesekali dia dibuat kesal oleh adik bungsunya karena diganggu.
Putra-putri Rahmi Soraya sejak kecil sudah terbiasa bergelut dengan buku. Meskipun ada beberapa mainan lain, tetapi buku menjadi primadona. Soraya prihatin dengan minimnya minat membaca generasi Aceh sekarang. Semakin dia miris mendengar pengakuan dari para remaja, bila melihat buku tebal bisa mual dan hendak muntah.
Rahmi hanya bisa mengurut dada dengan kenyataan ini. Bila generasi bangsa tidak cinta dengan membaca, tentunya generasi ke depan akan tumpul wawasan dan tak mampu bersaing. Terlebih bangsa Indonesia saat ini masuk dalam program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bila generasi bangsa tak siap menghadapi pasar bebas ini, akan tergilas oleh pekerja asing yang akan masuk ke Indonesia.
Atas dasar itu, Rahmi punya cita-cita besar membuat pustaka bisa diakses oleh banyak orang. Agar generasi Aceh ke depan tidak tertinggal secara ilmu pengetahuan, bila minat membaca bisa tumbuh.
Rahmi yakin, dengan membaca bisa mencerdaskan anak bangsa. Mencintai literasi, berarti telah menerangi cahaya kehidupan. Cahaya masa depan, agar generasi bangsa ini bisa menjadi kutu buku dan akan lebih banyak lahir pemikir-pemikir andal.
Mengingat pentingnya wawasan, Rahmi mencoba mengajak anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya gemar membaca. Biasanya, saban hari libur, ada puluhan anak-anak berkumpul dalam rumahnya.
Mereka sambil bermain, membaca buku sesuai dengan usia. Rata-rata anak-anak tetangga yang berkumpul di rumahnya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ada juga masih Taman Kanak-Kanak (TK).
"Biasanya itu sore hari, libur sekolah anak-anak kumpul di rumah," kata Rahmi kepada merdeka.com.
Ruang tamu berukuran empat meter kali enam meter itu dia sulap sebagai tempat anak-anak membaca. Bila penuh sesak, biasanya para bocah bakal meluber hingga halaman rumah.
Setiap bulan, Rahmi bersama suami, M. Yusuf Islam (46), berusaha menyisihkan dana buat membeli buku buat menambah koleksi di perpustakaan rumahnya.
Berbelanja buku bersama keluarga sudah rutin terjadwal. Waktu inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh ketiga anaknya, M. Islamey Evan Adha (16), Alffa Jasmin (9), dan Arkana Umar Yusuf (3,5). Bahkan, bila Rahmi dan suaminya kelupaan, biasanya sang anak mengingatkan. Bagi mereka, pergi ke toko buku sama halnya tamasya di akhir pekan.
Rahmi mengaku, ia bersama suami dan anak-anaknya, lebih memilih pergi ke pasar buku murah dibandingkan pasar pakaian murah. Di mana pun ia mendengar ada buku dijual murah, langsung disambangi.
Ada ratusan koleksi buku, novel dan majalah di rumahnya. Namun, Rahmi mengaku bacaan yang paling ia gemari adalah novel karya Tere Liye berjudul 'Hujan'. Novel ini mengisahkan tentang persahabatan dan perpisahan.
"Novel ini saya baca berkali-kali, suka sekali saya," imbuhnya.
Selain itu, Rahmi juga menggemari novel dengan judul, 'Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin'. Sedangkan sang suami memiliki koleksi lengkap novel Balada si Roy.
Rahmi juga mengaku mengoleksi majalah-majalah atau buku tentang menjahit. Karena itu adalah hobinya dan juga pekerjaannya buat menambah tabungan keluarga.
Ia punya cita-cita besar memiliki sebuah perpustakaan lengkap dengan berbagai macam buku. Siapapun bisa masuk tempat itu.
Warisan sepanjang zaman
Sang ayah, Umar Musa, merupakan sosok panutan Rahmi Soraya. Dia belajar banyak dari orang tuanya cara menumbuhkan minat membaca bagi anak-anaknya.
Rahmi kecil sering diajak bermain Teka Teki Silang (TTS) di surat kabar setempat. Melalui TTS itu, Rahmi bersama lima saudara kandungnya berjibaku dengan berbagai judul buku demi memecahkan teka-teki itu.
Mereka berlomba-lomba menjadi orang pertama mendapatkan jawaban TTS. Seakan-akan, bapaknya sedang membuat kompetisi, siapa yang bisa menjawab TTS tercepat. Mereka pun tak kenal lelah, terus membolak-balik buku diberikan oleh orang tuanya.
Usai salat magrib dan mengaji, kenang Rahmi, sang ayah kerap memberi wejangan kepada anak-anaknya sembari membagikan bacaan. Setiap orang biasanya mendapat jatah satu buku dan satu majalah. Ayahnya meminta mereka membaca dan kemudian menjelaskan apa isi literatur itu.
"Jadi kami harus baca buku pintar karangan Iwan Gayo. Kalau sekarang enak ada Google, dulu tidak ada," kata Rahmi Soraya kepada merdeka.com.
Ada beragam buku tersedia di rumahnya. Semasa kecil, buku paling digemari Rahmi adalah Donald Bebek, Majalah Aku Anak Saleh, Anita, dan sejumlah buku dan majalah yang terbit masa itu. Semua koleksi buku dan majalah miliknya semasa kecil sudah disumbangkan pada beberapa komunitas membaca di Banda Aceh.
Sejak usia tiga tahun, Rahmi sudah diperkenalkan dengan buku. Apalagi di rumah Rahmi tidak ada televisi. Bukan berarti orang tuanya tak mampu membeli. Akan tetapi memang sengaja tidak disediakan, agar mereka tidak terlena dengan tayangan di layar kaca. Rahmi baru menyadarinya sekarang, mengapa kedua orang tuanya tidak membelikan mereka televisi, tetapi memilih menghabiskan uang buat membeli buku.
Baginya, membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca bisa mengetahui jagat raya, meskipun belum tentu disambanginya.
"Mamak kalau bapak beli buku banyak-banyak tak pernah protes, tetapi kalau beli lain seperti permen, mamak ada protes," jelasnya.
Rahmi dahulu menetap di Gampong Paru, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Dulu daerah ini masih masuk administrasi Kabupaten Pidie. Paru sebuah gampong yang secara pendidikan dan ekonomi, sekitar 33 tahun lalu, sangat tertinggal.
Selain sempat menjadi daerah merah, karena menjadi salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pembangunan fisik pun jauh tertinggal. Sekarang kondisi daerah ini sudah berbeda.
Sejak kecil, Rahmi ditempa oleh bapaknya agar mau berbagi dengan anak-anak lain. Setiap waktu senggang, seperti pulang sekolah atau akhir pekan, Rahmi selalu mengajak rekan-rekan sebayanya ke rumah membaca buku.
Anak-anak sebayanya, kisah Rahmi, senang diberikan bahan bacaan. Mereka pun bermain sambil membaca buku. Kedua orang tuanya pun tak pernah protes, justru memberikan motivasi agar mau berbagi ilmu kepada anak-anak yang kurang mampu.
"Padahal kondisi ekonomi kami dulu juga pas-pasan. Kami bukan orang kaya. Bapak hanya guru dulu," imbuhnya.
Kini Rahmi tinggal di rumah semi permanen di Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Di dalamnya terdapat satu lemari dengan lebar 1,5 meter dan tinggi 2,5 meter. Lemari warna kehitaman ini berisi buku-buku beragam judul. Ada 350 buku di sana. Di sana juga terdapat rak kecil. Di dalamnya tertata rapi puluhan judul buku dan majalah untuk anak-anak.
Meski pas-pasan, bukan berarti Rahmi menyerah. Bersama suaminya, dia berusaha menanamkan rasa cinta membaca buat anak-anaknya. Bagi mereka, membaca merupakan investasi untuk masa depan bagi anak-anak yang tak pernah habis dan terkikis oleh modernisasi dan zaman. [merdeka]
Buku di tangan kanannya tetap tak lepas. Sesekali berhenti berlari dan melihat-lihat gambar. Sedangkan yang lain asyik membaca buku. Sesekali dia dibuat kesal oleh adik bungsunya karena diganggu.
Putra-putri Rahmi Soraya sejak kecil sudah terbiasa bergelut dengan buku. Meskipun ada beberapa mainan lain, tetapi buku menjadi primadona. Soraya prihatin dengan minimnya minat membaca generasi Aceh sekarang. Semakin dia miris mendengar pengakuan dari para remaja, bila melihat buku tebal bisa mual dan hendak muntah.
Rahmi hanya bisa mengurut dada dengan kenyataan ini. Bila generasi bangsa tidak cinta dengan membaca, tentunya generasi ke depan akan tumpul wawasan dan tak mampu bersaing. Terlebih bangsa Indonesia saat ini masuk dalam program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bila generasi bangsa tak siap menghadapi pasar bebas ini, akan tergilas oleh pekerja asing yang akan masuk ke Indonesia.
Atas dasar itu, Rahmi punya cita-cita besar membuat pustaka bisa diakses oleh banyak orang. Agar generasi Aceh ke depan tidak tertinggal secara ilmu pengetahuan, bila minat membaca bisa tumbuh.
Rahmi yakin, dengan membaca bisa mencerdaskan anak bangsa. Mencintai literasi, berarti telah menerangi cahaya kehidupan. Cahaya masa depan, agar generasi bangsa ini bisa menjadi kutu buku dan akan lebih banyak lahir pemikir-pemikir andal.
Mengingat pentingnya wawasan, Rahmi mencoba mengajak anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya gemar membaca. Biasanya, saban hari libur, ada puluhan anak-anak berkumpul dalam rumahnya.
Mereka sambil bermain, membaca buku sesuai dengan usia. Rata-rata anak-anak tetangga yang berkumpul di rumahnya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ada juga masih Taman Kanak-Kanak (TK).
"Biasanya itu sore hari, libur sekolah anak-anak kumpul di rumah," kata Rahmi kepada merdeka.com.
Ruang tamu berukuran empat meter kali enam meter itu dia sulap sebagai tempat anak-anak membaca. Bila penuh sesak, biasanya para bocah bakal meluber hingga halaman rumah.
Setiap bulan, Rahmi bersama suami, M. Yusuf Islam (46), berusaha menyisihkan dana buat membeli buku buat menambah koleksi di perpustakaan rumahnya.
Berbelanja buku bersama keluarga sudah rutin terjadwal. Waktu inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh ketiga anaknya, M. Islamey Evan Adha (16), Alffa Jasmin (9), dan Arkana Umar Yusuf (3,5). Bahkan, bila Rahmi dan suaminya kelupaan, biasanya sang anak mengingatkan. Bagi mereka, pergi ke toko buku sama halnya tamasya di akhir pekan.
Rahmi mengaku, ia bersama suami dan anak-anaknya, lebih memilih pergi ke pasar buku murah dibandingkan pasar pakaian murah. Di mana pun ia mendengar ada buku dijual murah, langsung disambangi.
Ada ratusan koleksi buku, novel dan majalah di rumahnya. Namun, Rahmi mengaku bacaan yang paling ia gemari adalah novel karya Tere Liye berjudul 'Hujan'. Novel ini mengisahkan tentang persahabatan dan perpisahan.
"Novel ini saya baca berkali-kali, suka sekali saya," imbuhnya.
Selain itu, Rahmi juga menggemari novel dengan judul, 'Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin'. Sedangkan sang suami memiliki koleksi lengkap novel Balada si Roy.
Rahmi juga mengaku mengoleksi majalah-majalah atau buku tentang menjahit. Karena itu adalah hobinya dan juga pekerjaannya buat menambah tabungan keluarga.
Ia punya cita-cita besar memiliki sebuah perpustakaan lengkap dengan berbagai macam buku. Siapapun bisa masuk tempat itu.
Warisan sepanjang zaman
Sang ayah, Umar Musa, merupakan sosok panutan Rahmi Soraya. Dia belajar banyak dari orang tuanya cara menumbuhkan minat membaca bagi anak-anaknya.
Rahmi kecil sering diajak bermain Teka Teki Silang (TTS) di surat kabar setempat. Melalui TTS itu, Rahmi bersama lima saudara kandungnya berjibaku dengan berbagai judul buku demi memecahkan teka-teki itu.
Mereka berlomba-lomba menjadi orang pertama mendapatkan jawaban TTS. Seakan-akan, bapaknya sedang membuat kompetisi, siapa yang bisa menjawab TTS tercepat. Mereka pun tak kenal lelah, terus membolak-balik buku diberikan oleh orang tuanya.
Usai salat magrib dan mengaji, kenang Rahmi, sang ayah kerap memberi wejangan kepada anak-anaknya sembari membagikan bacaan. Setiap orang biasanya mendapat jatah satu buku dan satu majalah. Ayahnya meminta mereka membaca dan kemudian menjelaskan apa isi literatur itu.
"Jadi kami harus baca buku pintar karangan Iwan Gayo. Kalau sekarang enak ada Google, dulu tidak ada," kata Rahmi Soraya kepada merdeka.com.
Ada beragam buku tersedia di rumahnya. Semasa kecil, buku paling digemari Rahmi adalah Donald Bebek, Majalah Aku Anak Saleh, Anita, dan sejumlah buku dan majalah yang terbit masa itu. Semua koleksi buku dan majalah miliknya semasa kecil sudah disumbangkan pada beberapa komunitas membaca di Banda Aceh.
Sejak usia tiga tahun, Rahmi sudah diperkenalkan dengan buku. Apalagi di rumah Rahmi tidak ada televisi. Bukan berarti orang tuanya tak mampu membeli. Akan tetapi memang sengaja tidak disediakan, agar mereka tidak terlena dengan tayangan di layar kaca. Rahmi baru menyadarinya sekarang, mengapa kedua orang tuanya tidak membelikan mereka televisi, tetapi memilih menghabiskan uang buat membeli buku.
Baginya, membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca bisa mengetahui jagat raya, meskipun belum tentu disambanginya.
"Mamak kalau bapak beli buku banyak-banyak tak pernah protes, tetapi kalau beli lain seperti permen, mamak ada protes," jelasnya.
Rahmi dahulu menetap di Gampong Paru, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Dulu daerah ini masih masuk administrasi Kabupaten Pidie. Paru sebuah gampong yang secara pendidikan dan ekonomi, sekitar 33 tahun lalu, sangat tertinggal.
Selain sempat menjadi daerah merah, karena menjadi salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pembangunan fisik pun jauh tertinggal. Sekarang kondisi daerah ini sudah berbeda.
Sejak kecil, Rahmi ditempa oleh bapaknya agar mau berbagi dengan anak-anak lain. Setiap waktu senggang, seperti pulang sekolah atau akhir pekan, Rahmi selalu mengajak rekan-rekan sebayanya ke rumah membaca buku.
Anak-anak sebayanya, kisah Rahmi, senang diberikan bahan bacaan. Mereka pun bermain sambil membaca buku. Kedua orang tuanya pun tak pernah protes, justru memberikan motivasi agar mau berbagi ilmu kepada anak-anak yang kurang mampu.
"Padahal kondisi ekonomi kami dulu juga pas-pasan. Kami bukan orang kaya. Bapak hanya guru dulu," imbuhnya.
Kini Rahmi tinggal di rumah semi permanen di Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Di dalamnya terdapat satu lemari dengan lebar 1,5 meter dan tinggi 2,5 meter. Lemari warna kehitaman ini berisi buku-buku beragam judul. Ada 350 buku di sana. Di sana juga terdapat rak kecil. Di dalamnya tertata rapi puluhan judul buku dan majalah untuk anak-anak.
Meski pas-pasan, bukan berarti Rahmi menyerah. Bersama suaminya, dia berusaha menanamkan rasa cinta membaca buat anak-anaknya. Bagi mereka, membaca merupakan investasi untuk masa depan bagi anak-anak yang tak pernah habis dan terkikis oleh modernisasi dan zaman. [merdeka]
Comments
Post a Comment