Politik Musang Priek di Aceh

Mendengar kalimat musang priek mengingatkan saya pada seseorang yang lagi jengkel, marah atau murka. Kalimat yang tidak patut dicontoh ini kerap kita dengar sebagian orang tua yang mengata-ngatakan anaknya yang bandel dengan sebutan musang priek.

Seakan-akan ketika seseorang kita lebelkan dengan musang priek, orang ini telah membuat kesalahan besar. Terutama pada anak yang bandel, padahal anak itu bukan bandel, tetapi kelebihan energi yang tidak tersalurkan, hingga anak ini menyalurkan pada hal-hal negatif.

Apa hubungannya dengan politik musang priek di Aceh?

Selama 30 tahun Aceh dalam kondisi peperangan. Konflik berkepanjangan telah membawa dampak besar pada sektor ekonomi, pembangunan hingga mental manusia. Hingga tidak heran, warga Aceh sulit untuk senyum, karena puluhan tahun hidup di bawah tekanan.

Dentuman senjata, sudah menjadi hal biasa di telinga rakyat Aceh. Bahkan sangat lihai membedakan suara senapan serbu AK 47, M16 dan bahkan suara senjata SS1. Hampir semua jenis suara senjata sudah bisa dibedakan.

Setelah perjalanan panjang perang di Aceh yang telah banyak memakan korban jiwa, bahkan banyak diantaranya korban masyarakat sipil yang tak bersenjata. Demikian juga menjadi korban perempuan hingga anak-anak yang tidak berdosa.

Malam terdengar suara rentetan senjata, baik AK 47, M16 dan juga SS1. Saling bersahutan senjata meledak, hingga mirip dalam film-film aksi. Suara deru mobil di jalan hingga membisingkan. Namun masyarakat tetap duduk manis di dalam rumah sambil berdoa tidak digedor pintu oleh serdadu bersenjata lengkap.

Pahit getir telah dilewati oleh rakyat Aceh. Hampir semua rakyat Aceh pernah merasakan “nikmat” sepatu PDL tentara menempel di dada, muka dan bahkan punggung hingga tersungkut ke tanah. Semua ini katanya demi perjuangan rakyat Aceh keluar dari belenggu ketidak adilan pemerintah pusat! Entah bebar itu?

Setelah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 lalu yang telah memporak-porandakan Aceh, hingga memakan korban ratusan ribu jiwa. Kehilangan pekerjaan, rumah dan Aceh terpuruk lebih dari konflik yang melanda Aceh antara GAM dengan Pemerintah Indonesia.

Dunia gempar, banyak bantuan asing berdatangan untuk menolong rakyat Aceh. Namun masih terkendala dengan status Aceh Darurat Militer (DM), hingga banyak bantuan asing terkendala masuk ke Aceh.

Kemudian pada tanggal 15 Agustus 2005 tercapailah kesepakatan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia untuk berdamai. Penandatangan perdamaian ini berlangsung di Helsinki, Finlandia.

GAM saat itu harus menguburkan niatnya untuk merdeka, tetapi kesepakatan GAM kembali pada pangkuan ibu pertiwi, bangsa Indonesia yang dulunya sangat dibenci. Mulai saat itu petinggi GAM sudah “menyerah” pada bangsa Indonesia dan menerima tatanan pemerintah sendiri.

Lalu lahirlah Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Sejak saat itu semua senjata dimusnahkan dengan cara dipotong. Pasukan Tentara Negara Aceh (TNA) berubah nama menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh) dan kemudian mereka menjadi partai politik lokal yaitu Partai Aceh (PA).

Mulai saat itulah pertarungan politik mulai terjadi. Perpecahan internal tak dapat dihindari. Saling rebut kekuasaan bukan rahasia umum lagi. Tibalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama dilakukan. Kubu GAM sendiri terbelah dua antara Irwandi Yusuf – Muhamma Nazar naik dari jalur calon independen. Mereka ini juga mengaku referntatif dari GAM.

Kemudian Humam Hamid – Hasbi Abdullah juga mengaku referentatif dari GAM. Namun mereka ini naik dari partai politik – yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ada sejumlah nama lainnya calon gubernur saat itu dan yang terpilih adalah Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar.

Pasangan ini pun kemudian pada Pilkada tahun 2012 pecah dan mencalonkan masing-masing. Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan, Muhammad Nazar – Nova Iriansyah. Kemudian dari pihak GAM Zaini Abdullah – Muzakir Manaf.

Menariknya, Zaini Abdullah – Muzakir Manaf yang kemudian disingkat ZIKIR berasal dari satu partai – yaitu Partai Aceh, partainya mantan kombatan. Muzakir Manaf selaku ketua partai menjadi wakil Gubernur dan Zaini Abdullah Tuha Peut partai menjadi Gubernur.

Pada masa itu banyak orang memprediksikan bila pasangan ZIKIR menang dalam Pilkada. Kepemimpinan mereka akan langgeng dan berjalan mulus tanpa ada perpecahan. Ini disebabkan mereka berasal dari satu partai dan juga seperjuangan.

Siapa tak kenal dengan sosok Zaini Abdullah, Menteri Kesehatan pada pemerintah GAM saat itu yang dipimpin oleh Teungku Hasan Tiro. Zaini Abdullah juga kader pertama dan hadir dalam pelantikan kabinet pemerintah GAM saat itu.

Setelah Pilkada berlangsung, rakyat Aceh memberikan kepercayaan pada pasangan ZIKIR. Bahkan suara ZIKIR melebihi 50 persen saat itu. Kemudian rakyat Aceh pun menaruh harapan besar pada kepemimpinan ZIKIR agar bisa membawa Aceh jauh lebih maju dan berkembang. Terutama untuk memberantas kemiskinan.

Kemudian yang terjadi, 2,5 tahun kepemimpinan ZIKIR belum terasa ada perubahan signifikan. Justru terkesan kepemimpinan ZIKIR tidak lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Justru program-program pro rakyat seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), sekarang hanya merubah nama menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA).

Lalu politik musang priek dimana? Lihat saja apa yang terjadi sekarang. Antara Ayah dan Ibu terkesan tidak akur, sehingga berimbas pada anak-anaknya. Padahal, anak-anaknya sekarang yang berjumlah 4 juta lebih membutuhkan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan malah dikata-katakan musang priek karena bandel.

Ada sebagian anaknya yang berada di wilayah timur membandel hingga lari dari rumah dan memberontak. Bahkan mereka sekarang ibarat teroris, harus ditangkap hidup atau mati. Padahal mereka ini kelebihan energi, membutuhkan penyaluran yang baik.

Bila ayah dan ibunya mengetahui bagaimana cara menyalurkannya, anak ini pasti tidak membuat hal yang menyimpang.

Namun, konon ingin memberi contoh yang baik pada anak-anaknya. Agar tidak memberontak dan melawan orang tua. Orang tua sendiri hampir setiap hari ribut, tak pernah akur. Bahkan piring-piring di rumah sering beterbangan kemana-mana.


Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh medio September 2014, penduduk miskin di Aceh mencapai 16,98 persen, pengangguran terbuka medio Agustus 2014 sebesar 9,0 persen, jumlah angkatan kerja 2,123 juta orang.

Comments