M Yulfan baru saja keluar dari
ruangan depan di kantor Tikar Pandan, Ulee Kareng Banda Aceh beberapa waktu
lalu. Katanya sedang belajar Bahasa Inggris dengan seorang native speaker. Dia sendiri memang
bekerja di kantor tersebut. Tikar Pandan merupakan lembaga swadaya masyarakat
yang selama ini fokus mendalami isu-isu kebudayaan di Aceh.
Yulfan merupakan salah satu tokoh muda Lhoknga, Aceh Besar yang
rajin mengkritisi keberadaan PT Semen Andalas Indonesia (SAI), yang kini
berubah nama menjadi PT Lafarge Cement Indonesia (LCI). Hari itu, Yulfan
ditemani Raihal Fajri. Perempuan berkacamata tersebut juga berada di satu
barisan dengan Yulfan.
Sampai saat ini, keduanya tak habis fikir dengan profesionalisme
PT LCI. Masalahnya tak habis-habis. Ironisnya lagi, persoalan yang tak kunjung
terselesaikan masih itu-itu saja. Yulfan menuding, LCI masih menjadi sumber
petaka bagi warga Lhoknga dan Leupung.
Tudingannya bukan tak beralasan. Dia menyontohkan, lingkungan
masyarakat tak sehat lagi. Saban hari, warga sekitar bermakankan debu. Selain
itu, bukan kali ini saja kapal-kapal pengangkutan PT LCI menumpahkan minyak di
perairan Lhoknga. Bahkan menurut laporan warga, pernah sebuah kapal milik PT
LCI tenggelam di kawasan Lhok Bubon. Kapal itu mengangkut bahan bakar LCI
berupa batubara.
Sayangnya LCI dinilai tidak legawa. Mereka menolak kapal
tongkang itu disebut milik mereka. Alasannya proses serah-terima belum
dilakukan. Batubara serta kapal tersebut masih di bawah tanggungjawab PT
Pacific Three dan PT Mega Reward.
“Harusnya tidak lepas tangan,” tandas Raihal menyambung
penjelasan Yulfan.
Tidak itu saja, Walhi Aceh pada Agustus 2011 pernah merilis
adanya ancaman hujan asam di wilayah Lhoknga dan Leupung. Sumbernya siapa lagi
kalau bukan PT LCI. Gudang batubara mereka terbakar. Senyawa sulfur dan
nitrogen yang dihasilkan akibat pembakaran batubara berpotensi adanya hujan
asam. Dampak hujan asam ini sangat besar. Ancamannya bersifat global karena
akan menggangu ekosistem setempat.
Semua persoalan lingkungan ini terasa sekali diabaikan oleh LCI.
Hingga saat ini Yulfan melihat, persoalan ancaman lingkungan belum diseriusi.
Padahal, pada 27 Januari 2012 LCI berkomitmen akan membentuk Komite Lingkungan.
Komitmen itu disampaikan saat bertemu dengan warga dan pemerintah (Bapedal
Aceh) yang difasilitasi oleh Komnas HAM Aceh.
“Mandat yang disampaikan Komnas HAM belum ditunaikan,” ujarnya
kesal.
Pembebasan lahan warga juga belum kelar. Dalam pertemuan
kemarin, Komnas HAM juga sudah mengingatkan hal itu kembali. LCI diwajibkan
membayar ganti-rugi lahan warga yang sudah dijadikan area produksi semen.
Menariknya, Pemerintah Aceh Besar mengeluarkan SK dimana tanah
adat yang sudah digunakan sebagai area produksi merupakan lahan pemerintah.
Masalah makin menjadi-jadi, sebut Yulfan.
Katahati Institute, Tikar Pandan, Karst Aceh, Walhi Aceh, dan
beberapa lembaga peduli lingkungan lainnya juga pernah mengevaluasi rapor merah
PT LCI. Evaluasi itu ikut diberikan kepada Pemerintah Aceh sebagai masukan
kontruktif, untuk menyelaraskan lingkungan dan eksplorasi alam.
Bak angus tiada berapi, karam pun tiada berair, masalah juga tak
usai. Audit sosial yang dilakukan pihaknya minim respon tindak-lanjut. Dilema
lingkungan warga Lhoknga-Leupung belum juga terjawab.
Dibilang paranoid terhadap LCI, Yulfan merasa tidak demikian.
Namun pesimisme sangatlah besar. LCI selalu jatuh dalam lubang yang sama.
Padahal sejak beroperasi pada 1980, harusnya potensi-potensi masalah dapat
diminimalisir.
Buktinya lepas masalah lingkungan, persoalan pemenuhan hak warga
lain lagi ceritanya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Besar tak mencolok
dengan adanya PT LCI. Jangankan Aceh Besar secara umum, warga Lhoknga dan
Leupung masih sekarat.
Bahkan di era kepemimpinan Bukhari Daud-Anwar Ahmad, Aceh Besar
pernah defisit. Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Bukhari. Akhirnya,
seribu tanya kembali mencuat.
“Sebagai salah satu sumber PAD terbesar, apa PT LCI tidak menyetor
pajak. Atau pajaknya disetor ke personal tertentu,” tukas Yulfan.
Karena itu beberapa kali pihaknya melakukan aksi massa.
Demontrasi yang dilakukan pada November 2007 lalu tak mempan. Perusahaan yang
investasi mayoritasnya dari Prancis ini masih saja mangkir dari kewajibannya.
Selain persoalan minimnya pelibatan warga, pemberdayaan masyarakat sekitar juga
buruk.
Jawaban atas aksi itu merupakan adanya alokasi khusus senilai Rp
3 miliar. Dana CSR itu hanya diperuntukkan bagi warga Lhoknga dan Leupung. Faktanya,
peruntukan anggarannya juga tidak tepat sasaran. Begitu juga dengan laporan
realisasi anggaran tersebut.
Harusnya pengelolaan dana CSR ini penting melibatkan masyarakat.
Tujuannya agar tidak digunakan untuk sektor seremonial dan konsumtif sementara
semata. Apalagi, sungguh tak mungkin LCI mampu memberikan pekerjaan kepada
seluruh warga Lhoknga dan Leupung.
Andai saja dana CSR yang besar itu digunakan sebagai mesin
ekonomi, mungkin akan terbuka lapangan kerja lainnya di sektor riil, seperti
pariwisata yang menjadi andalan warga.
Nah kabarnya, “Uang itu tidak saja digunakan untuk pemberdayaan
warga Lhoknga dan Leupung. Siapa yang datang juga dikasih,” katanya miris.
Sekitar medio 2009, aksi demontrasi kembali dilakukan. Adanya
aksi massa ke sekian kalinya lantaran perusahaan masih mangkir memenuhi
kewajibannya terhadap warga. Yulfan menilai, tak lebih dari 10 persen tuntutan
sebelumnya yang dipenuhi perusahaan. Selebihnya seperti masalah lingkungan dan
pemberdayaan warga kembali terulang.
“Apa guna,” tandas Raihal.
Kadang dia berfikir, bukan salah PT LCI semata yang terus
membandel. Pembiaran yang dilakukan Pemerintah Aceh, khususnya Aceh Besar juga
jadi alasan. Regulasi investasi di Aceh selalu melindungi para investor secara
berlebihan.
Ada indikasi, pelaksana pemerintah mendapatkan jatah. Jatah itu
sebagai hadiah atas proteksi yang diberikan kepada perusahaan. Meski belum
memiliki data otentik, Yulfan tak membantah dugaan tersebut. Bahkan dia
menyebutkan Pemerintah Aceh Besar mendapatkan donasi khusus sejumlah Rp 100
dari setiap satu sak semen yang terjual. Itu baru satu kabar tak sedap.
Benarkah?
Comments
Post a Comment