Pukul 21.00 Wib, terlihat
seluruh warga dan anggota Top Daboh sudah siap-siap dihalaman
rumah Kabid Humas Pemkab Aceh Selatan, T. Al-Muhassibi. Terlihat masyarakat dan
peserta Jelajah Budaya sangat antusias ingin menikmati Rapai Debus itu. Apa
lagi ada diantara peserta baru pertama kali menyaksikan langsung pagelaran seni
yang tidak boleh dilakukan oleh bukan ahlinya.
Sebut saja Zamzami salah satu peserta Jelajah Budaya sempat ketakutan
menyaksikan atraksi demi atraksi anggota Top Daboh. Melihat atraksi-atraksi
ekstrim membuat nyali penonton kecut dengan adegan, apalagi saat mengiris-iris
badan memakai senjata tajam. Meskipun demikian tidak sedikitpun terluka seluruh
anggota Tob Daboh tersebut.
“Saya awalnya takut menglihatnya,”ungkap Zamzami, seorang peserta Jelajah
Budaya utusan dari HMI Cabang Jantho Jum’at (25/5) pukul 22.00 wib.
Dentuman Rapa’i terus ditabuh tanpa henti-henti diiringi dengan syair-syair
yang mengajak semua orang untuk bertaqwa kepada Allah Swt. Syair-syair yang
mengajak seluruh orang untuk selalu berbuat kebajikan dan menjauhi segala
larangan terus dilantunkan diiringi suara rapa’i. Sahut menyahut lantunan syair
membuat suasana semakin mistis.
Semua peserta Jelajah Budaya merapat duduk dipaling depan. Demikian juga
antusiasme masyarakat setempat yang juga ikut memadati pegelaran seni
tradisional ini, meskipun masyarakat setempat sudah biasa menyaksikan atraksi
demikian.
Suasana
semakin memanas tatkala salah seorang anggota Tob Daboh yang
memiliki perawakan badan yang tegap menarik salah satu peserta Jelah Budaya ke
dalam arena pertunjukan. Semua terkesima dan terdiam, diselimuti suara rapai
yang terus berbunyi. Tak pelak banyak peserta Jelajah Budaya berhamburan
berlarian menjauh dari arena pertunjukan, takut diajak bermain.
Zamzami yang berperawakan gondrong dipotong lehernya dengan sebilah pedang
yang sebelumnya sudah ditest ketajamannya dengan memotong dua butir pisang
sampai putus. Artinya pedang tersebut sangat tajam, bila ditebas leher manusia
dipastikan akan putus. Namun tidak dengan atraksi yang dilakukan oleh orang
profesional ini. Zamzami yang menjadi kelinci percobaan selamat dari antraksi
yang sangat berbahaya itu.
“Saya heran kok tiba-tiba saya berani maju duduk didepan, padahal
sebelumnya saya berdiri di belakang bang Afifuddin, lalu tiba-tiba ditarik
paksa ke dalam arena,”kata Zamzami.
Tak berselang
lama, anggota rapai dabus tersebut istirahat sejenak untuk siap-siap masuk pada
babak terakhir. Disaat itulah digunakan oleh Kabid Humas Aceh Selatan
mengumumkan siapapun yang ingin mencoba melakukan antraksi Tob Daboh ini
dipersilahkan masuk kedalam arena pertunjukan.
“Siapa yang mau mencoba silakan masuk kedalam arena pertunjukan”, ujar T.
Al-Muhassibi.
Awalnya tidak seorangpun yang berani masuk kedalam arena pertunjukkan.
Justru semua peserta jelajah budaya menjauh dari arena pertunjukan. Selang
beberapa detik, tidak ada satu pun yang mau masuk kedalam arena. Penulis yang
juga merupakan peserta Jelajah Budaya utusan dari The Globe Journal
memberanikan diri untuk masuk kedalam arena pertunjukan. Sehingga tepukan
tangan memberikan aplus tak henti-henti. Ada yang berteriak di luar arena
pertunjukan. Ada yang menyelutuk, “Coba tanya ada pesan terakhir gak”.
Lalu penulis diberikan arahan untuk membaca mantra yang dibacakan oleh
Kabid Humas, penulis mengikutinya dengan pelan-pelan.
Namun sebelumnya penulis diminta untuk minta izin terlebih dahulu pada
seorang tetua yang disebut Khalifah yang didepannya ada asap kemenyan. Sosok
khalifah tersebut yang sudah sangat berumur duduk santai tidak sepatah kata pun
berbicara dari awal sampai akhir pertunjukan. Teka-teki Khalifah tidak bicara
sepatah katapun membuat semua bertanya-tanya. Rasa penasaran tersebut sampai
sekarang belum terjawab, padahal penulis saat prosesi photo sempat mengajak
ngobrol Khalifah tersebut, namun tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Mantong
ek neu dong Abu (Masih sanggup berdiri bapak-red)?” tanya penulis,
namun ia hanya menganggukkan kepala saja. Setelah itu penulis mencoba bertanya
kembali, lagi-lagi hanya anggukan kepala yang didapatkan.
Tibalah atraksi yang sangat mendebarkan itu. Saat itu pukul sudah
menunjukkan 22.00 Wib. Suara rapai sudah dihentikan, jadi sangat terasa
keheningan malam Jjumat itu. Semua peserta Jelajah Budaya terdiam dan sangat
tegang, juru photo dan camera person sibuk mencari sudut focus untuk mengambil
gambar. Kabid Humas pun sempat ngelantur, “Selama saya mencoba atraksi begini,
sebanyak 34 kali saya lakukan, ada 4 kali gagal, semoga malam ini berhasil”,
ujarnya sambil tertawa.
Hal ini semakin membuat peserta Jelajah Budaya tegang dan terdiam. Lalu
Muhassibi tersebut kembali berkata, “Tapi gak apa-apa, rumah sakit cuma 3 km
dari sini,”selorohnya kembali.
Penulis pun disuruh tidur terlentang dalam arena pertunjukkan. Hal ini
membuat peserta Jalajah Budaya semakin tegang, semua terdiam dan bahkan ada
diantara peserta yang menjauh tidak berani menyaksikan atraksi ini. Sedangkan
penulis yang berkesempatan untuk mencoba antraksi tersebut terkesan santai dan
tidak sedikitpun merasa ketakutan saat berada dalam arena pertunjukkan.
Atraksi pun dimulai, lebih dari tiga kali Kabid Humas Aceh Selatan
menancapkan benda tajam pada perut penulis. Hening pada malam tersebut,
sehingga sangat jelas terdengar suara “bok” saat benda tajam itu mendarat pada
perut. Berulang kali ditancapkan benda itu, namun Alhamdulillah tidak
sedikitpun terluka dan juga tidak terasa sakit.
Tak sampai hanya disitu, penulis juga masih saja mendapatkan giliran untuk
melakukan atraksi lainnya yang lebih berbahaya lagi. Bayangkan senapan angin
tupai yang dari jarak 5 meter bisa membunuh, kali ini ditembakkan ke
perut penulis.
Peserta Jelajah Budaya kembali dibuat ketakutan oleh Kabid Humas Aceh
Selatan, pasalnya penulis diminta untuk menahan peluruh senapan angin tersebut
tepat diujung laras. Kembali peserta terdiam tanpa bersuara, Kabid Humas pun
mulai memompakan senapan itu setelah sebelumnya mengisi satu butir peluru.
Dan, tak berselang lama “dor” suara senapan angin memuntahkan pelurunya
tepat bersarang kedalam genggaman penulis, tanpa terluka sedikitpun. Setelah
itu peluru itu penulis disuruh tunjukkan pada penonton.
Rupaya tidak sampai hanya
disitu, Muhassibi tersebut kembali meminta satu orang peserta dari perempuan
untuk masuk kedalam arena pertunjukan. Tiba-tiba Tasha, wartawan Aceh Economic
Review memasuki arena. Setelah melakukan prosesi seperti penulis jalani sebelumnya,
atraksi pun dimulai.
Atraksi kali ini tidak kalah mengerikan dari yang dialami oleh
penulis.Kembali peserta jelajah budaya dibuat tegang dan bahkan ada yang
menutup mata. Tasha yang memiliki perawakan yang anggun harus menjadi kelinci
percobaan antraksi yang sangat mengerikan itu. Ia diminta menjulurkan telapak
tangannya untuk di bor dengan mesin bor listrik. Tak pelak Tasha sempat ingin
mengurungkan niatnya, namun tekat Tasha keras tetap ingin mencobanya.
“Awalnya saya takut, tapi saya coba aja,”kata Tasha.
Lalu tangannya pun ditelakkan diatas sebuah meja yang telah disediakan oleh
panitia setempat. Sebelumnya mata bor tersebut diminta untuk mengecek apakah
asli atau tidak, Muhassibi mendekati beberapa penonton disuruh pegang ujung
mata bor tersebut.
“Coba dicek tajam atau tidak,”ujarnya.
Untuk meyakinkan bahwa mata bor tersebut asli dan tajam, Muhassibi mencoba
alat itu mengebor kursi yang ada disitu yang tembus dimakan mata bor. Meskipun
demikian beda halnya saat Muhassibi melakukan atraksinya membor tangan Tasha,
tidak sedikitpun terluka dan juga tidak merasa sakit.
“Gak sakit saat dibor, hanya geli saja,”ujar Tasha yang kemana-mana selalu
dilehernya tergantung kamera.
Meskipun demikian, kecelakaan dalam atraksi yang sangat berbahaya ini bukan
tidak pernah terjadi. Pembina Group Seni Alam sakti ini mengungkapkan pernah
anggotanya meninggal ditempat akibat tembus perutnya saat sedang melakukan
atraksi. Sehingga khalifah selalu mengingatkan pada anggota tob daboh supaya
tidak melanggar Syariat Islam.
“Kurun waktu lima tahun ini ada anggota saya meninggal di tempat akibat
tembus tertusuk di perutnya,”ungkap Alem Jeumpa, Pembina Group Sanggar Seni
Rapa’i pada acara penutupan Jelah Budaya yang difasilitasi oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh Jumat malam (25/5).
Lanjutnya lagi, kecelakaan itu akibat dari anggota tob daboh ini tidak
mematuhi larangan-larangan yang telah ditentukan oleh Khalifah (Pemimpin Tob
Daboh).
Menurut informasi yang The Globe Journal dapatkan, seluruh peserta tob
daboh tidak boleh melanggar nilai-nilai Syariat Islam. Bila mereka
melanggarnya, maka resikonya adalah seperti korban yang tewas tersebut.
“Bila anggota tob daboh ini mencuri, minum minuman keras, melakukan dosa,
akibatnya seperti kejadian korban tewas tersebut,”jelas Alem Jeumpa.
Kembali Alem menuturkan, tradisi ini bermula dari Pasee, dimana saat itu
Syeh 12 dari Arab Saudi masuk ke Aceh dan mengajarkan tob daboh tersebut.
Jelasnya kembali, tob daboh ini juga menjadi modal Masyarakat Aceh dimasa
lalu untuk menakut-nakuti Belanda. Belanda merasa ketakutan saat melihat
anggota tob daboh beratraksi tidak dimakan benda tajam. Sehingga ini menjadi
senjata bagi rakyat Aceh bisa melawan Belanda.
Malam pun sudah larut, sudah menunjukkan pukul 23. 45 wib dan pagelaran
seni tradisional Tob Daboh pun berakhir. Semua peserta Jelajah Budaya
yang didominasi oleh jurnalis dan penyiar radio mengambil kesempatan untuk
mewawancara Alem Jeumpa.
Peserta Jelajah Budaya pun berpamitan pada seluruh Krue Tob daboh setelah
mengambil dokumentasi. Lagi-lagi sang Khalifah yang diajak bicara tidak
mengeluarkan sepatah katapun. Padahal penulis beberapa kali mencoba untuk
mengajaknya untuk bicara, namun tetap tidak membuahkan hasil sampai semua
membubarkan diri.
Comments
Post a Comment