Ini sepenggal cerita yang terjadi di Aceh sebelum Darurat Militer diterapkan. Ada banyak tragedi lain yang tidak terungkap ke publik sampai sekarang. Tulisan ini dipersembahan untuk mengingatkan kembali tragedi masa lalu, agar pada masa mendatang tidak kembali terjadi dengan kejadian yang serupa.
Apa lagi Sabtu, 19 Mei 2012 merupakan momentum bersejarah yang tak boleh dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanggal yang membuat Aceh terpuruk kedalam lembah konflik yang sangat dahsyat, yaitu 19 Mei 2003. Jadi, sekedar mengingatkan pada seluruh lapisan masyarakat, terutama para pelaku sejarah yang sekarang sudah menikmati kursi kekuasaan. Tanggal tersebut merupakan masuknya fase Darurat Militer di Aceh dan kemudian berakhir damai setelah Aceh di landa Gempa serta disapu gelombang Tsunami.
Tsunami yang menjadi katalisator untuk mempercepat perdamaian akhirnya terwujud setelah ditandantangani perjanjian damai di Helsinki 15 Agustus 2006 yang kemudian lahirlah UUPA Nomor 11 tahun 2006 yang merupakan regulasi pelaksanaan Pemerintahan Aceh.
Harus diingat ada banyak tuntutan dan janji-janji yang belum terealisasi saat ini. Janji-janji itu mungkin sedikit kembali hadir diingatan melalui tulisan ini. Ada banyak syuhada yang telah mendahului kita dimasa lampau dalam memperjuangkan kesetaraan Aceh yang saat itu di diskriminasikan oleh Jakarta.
Buah perdamaian yang dinikmati rakyat Aceh sekarang merupakan tetesan darah para pendahulu kita yang telah pergi terlebih dahulu. Nyawa mereka harus dihargai saat ini dengan mengingatkan kembali jasa-jasa mereka. Jasa-jasa para Syuhada tersebut harus dipertanggungjawabkan kedalam mensejahterakan rakyat Aceh pasca MoU Helsinki.
Ada kisah yang terjadi dalam sebuah gunung di Desa Beungga Kecamatan Tangse., Pidie Kisah ini mengingatkan betapa tragis dan pahit getirnya para syuhada yang telah merelakan nyawa melayang demi Aceh.
Cerita berawal dari sebuah desa yang sangat subur dan memiliki suhu udara yang sejuk, rata-rata mencapai 20-22o Celcius. Tanah yang subur serta memiliki hamparan sawah yang luas serta memiliki cita rasa beras yang khas, yaitu lebih dengan dengan beras tangse.
Penduduk setempat berpenghasilan dari berkebun dan bertani lainnya, seperti kopi jenis robusta, kakao, pinang dan ada sejumlah hasil hutan lainnya. Tak ketinggalan juga sangat dikenal dengan Durian Beungga yang memiliki rasa yang khas. Meskipun buah jenis ini berbuah musiman, namun menjadi sumber pendapatan warga setiap musim panen tiba.
Kemungkiman Beungga menjadi tenar kala itu saat terjadi sebuah tragedi berdarah yang tak tersiarkan. Dusun Meunasah Krueng Beungga yang juga masih dalam desa Beungga menjadi saksi bisu sebuah tragedi berdarah. Di Meunasah Dusun itulah disemanyamkan sementara para korban penembakan pada pagi hari sekitar pukul 6.00 wib.
Setalah itu semua korban dikebumikan pada sebuah tempat pemakaman umum yang ada di desa Beungga Kecamatan Tangse kabupaten Pidie. Disanalah semua syuhada itu beristirahat untuk selamanya setelah memberikan nyawanya untuk perjuangan.
Perjalanan panjang bergerilya gerilyawan GAM kala itu dihebohkan dengan pemberondongan di sebuah tempat istirahat pasukan GAM tersebut. Bukit Krueng Gajah Pijuet nama tempat kejadian itu yang memakan korban 3 orang. Satu diantaranya adalah salah seorang korban pembantaian di Cot Panglima yang selamat yaitu Idris warga Alue Calong Mukim Beungga Kecamatan Tangse.
Menurut penuturan Jafar yang akrap disapa oleh masyarakat setempat dengan sebutan Sifan atau Bang Fan mengatakan, tragedi tersebut berawal seluruh pasukan pada tahun 2001 itu sedang istirahat dalam sebuah gunung yang telah dipersiapkan oleh pasukan GAM. Namun, musibah datang di suatu pagi setelah subuh, mulanya seluruh pasukan sudah bangun untuk shalat subuh, tetapi setelah menunaikan kewajiban semua pasukan kembali ketempat istirahat masing-masing untuk mempersiapkan fisik esok hari harus kembali mencari tampat lain yang lebih aman untuk mengatur strategi kembali.
Secara tiba-tiba terdengarlah rentetan suara senjata “sipai” (sebutan untuk TNI saat itu) di pagi buta itu. Sedangkan pasukan semua sedang dalam kondisi istirahat, sehingga tidak siap dengan adanya penyerangan secara tiba-tiba. Kocar kacirlah seluruh pasukan untuk menyelamatkan diri. Sialnya 3 orang harus merenggang nyawa diujung senjata pasukan TNI saat itu.
“Saya selamat atas pertolongan Allah SWT”, ujar Jafar.
Pasalnya, ia selamat dari tragedi tersebut dil uar kemampuan nalarnya. Bahkan tuturnya, salah seorang korban yang telah ditembak tersebut dibakar bersamaan dengan “rangkang”. Sedangkan 2 orang lagi tewas di tempat akibat hantaman peluru tajam TNI.
Kembali ia menjelaskan, hanya 3 meter dari pasukan TNI tempat ia bersembunyi, namun mereka tidak bisa menglihatnya. Inilah yang ia maksud dengan pertolongan Allah. Ia bersembunyi di balik-balik semak belukar yang ada dalam hutan tersebut. Sedangkan tumitnya luka akibat dari terkena serpihan peluru, darah bercereran tanpa henti, namun ia tetap tak diketahui oleh pasukan TNI. Ia hanya berdoa dalam hati saat itu, semoga mukjizat datang supaya ia diberi keselamatan demi menyambung perjuangan.
“Lon ku meushom lam uret”, ketusnya.
Memang tidak ada yang menyangka tanggal 25 Desember 2001 di pagi buta terjadi tragedi yang memakan korban rekan-rekan seperjuangannya. Katakanlan Idris yang selamat dari pembantaian di Cot Panglima, namun naas di Gunung Krueng Gajah Pijuet, ia tewas bersama 2 rekannya lagi yaitu Ariadi dan Ihksan Zainal.
Pagi-pagi seluruh warga Dusun Krueng Beungga menjadi panik, penulis juga hadir ikut menyaksikan membantu menurunkan korban dari gunung. Kondisi mayat Idris sangat mengganaskan, orangnya yang tinggi, tetapi hanya tinggal 1 meter akibat hangus terbakar bersama rangkang. Sedangkan 2 lainnya luka tembak di sekujur tubuhnya, tak bisa dielak darah segar masih melekat saat mayat dikafankan.
Isak tangis warga tidak bisa terhindarkan, apa lagi keluarga korban semua berhamburan ingin menglihat korban penembakan. Tak pelak, keluarga korban pun larut dengan tangisan yang membara.
Tragedi ini menurut Jafar, ada orang-orang tertentu yang tidak senang dengan perjuangan yang membocorkan keberadaannya di hutan. Sehingga TNI saat itu mengetahui sasarannya dan terjadilah pemberondongan yang tidak sempat dibalas oleh pihak gerilyawan akibat semua sedang tertidur lelap.
“Kami gak sempat membalas pemberondongan itu, karena kami sedang istirahat”, ujar Jafar.
Menurutnya juga total orangnya saat itu sebanyak 15 orang, 3 orang tewas, 1 orang cedera di tumit yaitu dirinya yang selamat disembunyikan oleh semak belukar dan 11 orang lainnya bisa selamat melarikan diri dari kepungan itu.
Ia sangat bersyukur bisa selamat dari kejadian tersebut, meskipun sedikit cedera dit umitnya yang sampai sekarang berbekas dan jalan pun pincang. Tetapi tak apalah, yang terpenting dirinya bisa selamat dan sampai sekarang masih diberi panjang umur.
Harapannya Aceh bisa bisa Aman dan terus maju dimasa yang akan datang yang sesuai dengan MoU Helsinki. Itu menjadi patokan semua rakyat Aceh untuk kembali menata Aceh yang lebih baik dimasa akan datang.
“Saya sangat berharap Aceh bisa terus aman, seperti cita-cita sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki”, jelasnya lagi.
Sekelumit kisah ini bukan maksud untuk kembali membuka luka lama yang telah berlalu, bukan juga maksud ingin memanas-manaskan suasana kembali dengan membuka tabir lama. Akan tetapi sejarah masa lalu harus dikenang dan diingat supaya dimasa yang akan datang tidak kembali terjadi.
“Tragedi ini memang sebelum Darurat Militer”, tutur Jafar lagi.
Oleh karenanya ada banyak kisah lagi selama Darurat Militer diberlakukan di Aceh. kisah ini hanya ingin mengingatkan pada seluruh warga Aceh bahwa hari ini tanggal 19 Mei, merupakan awal terjadinya malapetaka konflik yang berkepanjangan. Tanggal 19 Mei 2003 merupakan tanggal penerapan Darurat Militer di Aceh.
Meskipun “Cut Nyak” (sebuatan Mega Wati) meneteskan air mata di Mesjid Raya Baiturrahman dalam pidatonya mengatakan, “Tdak akan saya biarkan setetes darah pun mengalir kembali di Aceh”, nyatanya setelah itu Aceh bukan mengalir darah, tetapi banjir darah.
Tragedi berdarah itu bermula kurir atau yang memegang radio komunikasi di Gampong ditangkap oleh TNI. Saat itu sangat terkenal dengan Pos Tentara Lampoh Coklat, disanalah ia mendekam sampai 15 hari dan kemudian dilepas kembali, meskipun sekujur tubuh remuk akibat dari hantaman tinju prajurit TNI.
Semoga derita dan kisah sedh pada masa lalu menjadi pelajaran untuk masa kini dan depan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah sebab sejarah sering berulang dalam versi lain dengan inti persoalan yang sama.
Pernah dimuat di www.theglobejournal.com
Apa lagi Sabtu, 19 Mei 2012 merupakan momentum bersejarah yang tak boleh dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanggal yang membuat Aceh terpuruk kedalam lembah konflik yang sangat dahsyat, yaitu 19 Mei 2003. Jadi, sekedar mengingatkan pada seluruh lapisan masyarakat, terutama para pelaku sejarah yang sekarang sudah menikmati kursi kekuasaan. Tanggal tersebut merupakan masuknya fase Darurat Militer di Aceh dan kemudian berakhir damai setelah Aceh di landa Gempa serta disapu gelombang Tsunami.
Tsunami yang menjadi katalisator untuk mempercepat perdamaian akhirnya terwujud setelah ditandantangani perjanjian damai di Helsinki 15 Agustus 2006 yang kemudian lahirlah UUPA Nomor 11 tahun 2006 yang merupakan regulasi pelaksanaan Pemerintahan Aceh.
Harus diingat ada banyak tuntutan dan janji-janji yang belum terealisasi saat ini. Janji-janji itu mungkin sedikit kembali hadir diingatan melalui tulisan ini. Ada banyak syuhada yang telah mendahului kita dimasa lampau dalam memperjuangkan kesetaraan Aceh yang saat itu di diskriminasikan oleh Jakarta.
Buah perdamaian yang dinikmati rakyat Aceh sekarang merupakan tetesan darah para pendahulu kita yang telah pergi terlebih dahulu. Nyawa mereka harus dihargai saat ini dengan mengingatkan kembali jasa-jasa mereka. Jasa-jasa para Syuhada tersebut harus dipertanggungjawabkan kedalam mensejahterakan rakyat Aceh pasca MoU Helsinki.
Ada kisah yang terjadi dalam sebuah gunung di Desa Beungga Kecamatan Tangse., Pidie Kisah ini mengingatkan betapa tragis dan pahit getirnya para syuhada yang telah merelakan nyawa melayang demi Aceh.
Cerita berawal dari sebuah desa yang sangat subur dan memiliki suhu udara yang sejuk, rata-rata mencapai 20-22o Celcius. Tanah yang subur serta memiliki hamparan sawah yang luas serta memiliki cita rasa beras yang khas, yaitu lebih dengan dengan beras tangse.
Penduduk setempat berpenghasilan dari berkebun dan bertani lainnya, seperti kopi jenis robusta, kakao, pinang dan ada sejumlah hasil hutan lainnya. Tak ketinggalan juga sangat dikenal dengan Durian Beungga yang memiliki rasa yang khas. Meskipun buah jenis ini berbuah musiman, namun menjadi sumber pendapatan warga setiap musim panen tiba.
Kemungkiman Beungga menjadi tenar kala itu saat terjadi sebuah tragedi berdarah yang tak tersiarkan. Dusun Meunasah Krueng Beungga yang juga masih dalam desa Beungga menjadi saksi bisu sebuah tragedi berdarah. Di Meunasah Dusun itulah disemanyamkan sementara para korban penembakan pada pagi hari sekitar pukul 6.00 wib.
Setalah itu semua korban dikebumikan pada sebuah tempat pemakaman umum yang ada di desa Beungga Kecamatan Tangse kabupaten Pidie. Disanalah semua syuhada itu beristirahat untuk selamanya setelah memberikan nyawanya untuk perjuangan.
Perjalanan panjang bergerilya gerilyawan GAM kala itu dihebohkan dengan pemberondongan di sebuah tempat istirahat pasukan GAM tersebut. Bukit Krueng Gajah Pijuet nama tempat kejadian itu yang memakan korban 3 orang. Satu diantaranya adalah salah seorang korban pembantaian di Cot Panglima yang selamat yaitu Idris warga Alue Calong Mukim Beungga Kecamatan Tangse.
Menurut penuturan Jafar yang akrap disapa oleh masyarakat setempat dengan sebutan Sifan atau Bang Fan mengatakan, tragedi tersebut berawal seluruh pasukan pada tahun 2001 itu sedang istirahat dalam sebuah gunung yang telah dipersiapkan oleh pasukan GAM. Namun, musibah datang di suatu pagi setelah subuh, mulanya seluruh pasukan sudah bangun untuk shalat subuh, tetapi setelah menunaikan kewajiban semua pasukan kembali ketempat istirahat masing-masing untuk mempersiapkan fisik esok hari harus kembali mencari tampat lain yang lebih aman untuk mengatur strategi kembali.
Secara tiba-tiba terdengarlah rentetan suara senjata “sipai” (sebutan untuk TNI saat itu) di pagi buta itu. Sedangkan pasukan semua sedang dalam kondisi istirahat, sehingga tidak siap dengan adanya penyerangan secara tiba-tiba. Kocar kacirlah seluruh pasukan untuk menyelamatkan diri. Sialnya 3 orang harus merenggang nyawa diujung senjata pasukan TNI saat itu.
“Saya selamat atas pertolongan Allah SWT”, ujar Jafar.
Pasalnya, ia selamat dari tragedi tersebut dil uar kemampuan nalarnya. Bahkan tuturnya, salah seorang korban yang telah ditembak tersebut dibakar bersamaan dengan “rangkang”. Sedangkan 2 orang lagi tewas di tempat akibat hantaman peluru tajam TNI.
Kembali ia menjelaskan, hanya 3 meter dari pasukan TNI tempat ia bersembunyi, namun mereka tidak bisa menglihatnya. Inilah yang ia maksud dengan pertolongan Allah. Ia bersembunyi di balik-balik semak belukar yang ada dalam hutan tersebut. Sedangkan tumitnya luka akibat dari terkena serpihan peluru, darah bercereran tanpa henti, namun ia tetap tak diketahui oleh pasukan TNI. Ia hanya berdoa dalam hati saat itu, semoga mukjizat datang supaya ia diberi keselamatan demi menyambung perjuangan.
“Lon ku meushom lam uret”, ketusnya.
Memang tidak ada yang menyangka tanggal 25 Desember 2001 di pagi buta terjadi tragedi yang memakan korban rekan-rekan seperjuangannya. Katakanlan Idris yang selamat dari pembantaian di Cot Panglima, namun naas di Gunung Krueng Gajah Pijuet, ia tewas bersama 2 rekannya lagi yaitu Ariadi dan Ihksan Zainal.
Pagi-pagi seluruh warga Dusun Krueng Beungga menjadi panik, penulis juga hadir ikut menyaksikan membantu menurunkan korban dari gunung. Kondisi mayat Idris sangat mengganaskan, orangnya yang tinggi, tetapi hanya tinggal 1 meter akibat hangus terbakar bersama rangkang. Sedangkan 2 lainnya luka tembak di sekujur tubuhnya, tak bisa dielak darah segar masih melekat saat mayat dikafankan.
Isak tangis warga tidak bisa terhindarkan, apa lagi keluarga korban semua berhamburan ingin menglihat korban penembakan. Tak pelak, keluarga korban pun larut dengan tangisan yang membara.
Tragedi ini menurut Jafar, ada orang-orang tertentu yang tidak senang dengan perjuangan yang membocorkan keberadaannya di hutan. Sehingga TNI saat itu mengetahui sasarannya dan terjadilah pemberondongan yang tidak sempat dibalas oleh pihak gerilyawan akibat semua sedang tertidur lelap.
“Kami gak sempat membalas pemberondongan itu, karena kami sedang istirahat”, ujar Jafar.
Menurutnya juga total orangnya saat itu sebanyak 15 orang, 3 orang tewas, 1 orang cedera di tumit yaitu dirinya yang selamat disembunyikan oleh semak belukar dan 11 orang lainnya bisa selamat melarikan diri dari kepungan itu.
Ia sangat bersyukur bisa selamat dari kejadian tersebut, meskipun sedikit cedera dit umitnya yang sampai sekarang berbekas dan jalan pun pincang. Tetapi tak apalah, yang terpenting dirinya bisa selamat dan sampai sekarang masih diberi panjang umur.
Harapannya Aceh bisa bisa Aman dan terus maju dimasa yang akan datang yang sesuai dengan MoU Helsinki. Itu menjadi patokan semua rakyat Aceh untuk kembali menata Aceh yang lebih baik dimasa akan datang.
“Saya sangat berharap Aceh bisa terus aman, seperti cita-cita sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki”, jelasnya lagi.
Sekelumit kisah ini bukan maksud untuk kembali membuka luka lama yang telah berlalu, bukan juga maksud ingin memanas-manaskan suasana kembali dengan membuka tabir lama. Akan tetapi sejarah masa lalu harus dikenang dan diingat supaya dimasa yang akan datang tidak kembali terjadi.
“Tragedi ini memang sebelum Darurat Militer”, tutur Jafar lagi.
Oleh karenanya ada banyak kisah lagi selama Darurat Militer diberlakukan di Aceh. kisah ini hanya ingin mengingatkan pada seluruh warga Aceh bahwa hari ini tanggal 19 Mei, merupakan awal terjadinya malapetaka konflik yang berkepanjangan. Tanggal 19 Mei 2003 merupakan tanggal penerapan Darurat Militer di Aceh.
Meskipun “Cut Nyak” (sebuatan Mega Wati) meneteskan air mata di Mesjid Raya Baiturrahman dalam pidatonya mengatakan, “Tdak akan saya biarkan setetes darah pun mengalir kembali di Aceh”, nyatanya setelah itu Aceh bukan mengalir darah, tetapi banjir darah.
Tragedi berdarah itu bermula kurir atau yang memegang radio komunikasi di Gampong ditangkap oleh TNI. Saat itu sangat terkenal dengan Pos Tentara Lampoh Coklat, disanalah ia mendekam sampai 15 hari dan kemudian dilepas kembali, meskipun sekujur tubuh remuk akibat dari hantaman tinju prajurit TNI.
Semoga derita dan kisah sedh pada masa lalu menjadi pelajaran untuk masa kini dan depan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah sebab sejarah sering berulang dalam versi lain dengan inti persoalan yang sama.
Pernah dimuat di www.theglobejournal.com
Comments
Post a Comment